........Selamat Hari Jadi Kab. Nunukan ke 13 tgl 12 Oktober 2012.......

Minggu, 20 September 2009

MERANCANG KOMODITI UNGGULAN DAERAH YANG PRO RAKYAT (AREN, SINGKONG DAN SAPI)


MERANCANG KOMODITI UNGGULAN DAERAH YANG PRO RAKYAT (AREN, SINGKONG DAN SAPI)

Oleh : Dian Kusumanto

Pembangunan yang pro rakyat menjadi isu dan topik hangat menjelang pemilu pilpres yang baru lalu. Neoliberalisme seolah menjadi musuh yang harus dienyahkan dalam era pembangunan yang akan datang. Semua kandidat dengan getol mengajukan konsep pembangunan yang pro rakyat dan tidak mau disebut sebagai agen Neolib, Neo Liberalisme.

Namun sampai sekarangpun , setelah usai pemilu dan pemenang sudah disahkan, belum ada yang mengajukan konsep yang jelas bagaimana penbangunan yang pro rakyat itu. Belum jelas pilihan komoditi apa yang menjadi unggulannya. Mereka seolah-olah lupa dengan isu yang dikembangkan dulu, tidak ada bekas-bekas jejaknya. Mereka semua lupa bahwa rakyat terus menunggu konsep itu segera dapat diaktualisasikan, diimplementasikan dalam program yang nyata.

Indonesia yang melimpah sumber daya alamnya, yang masih luas lahan–lahan yang tidak produktif, menunggu sentuhan program yang nyata, khususnya pembangunan ekonomi yang pro rakyat. Masalah pangan dan energi yang masih menjadi momok terjadinya krisis, perlu segera diatasi dipecahkan, sembari sekalian dengan paket pembangunan yang pro rakyat. Artinya pembangunan yang pro terhadap ekonomi rakyat sekaligus mengatasi masalah asasi dasar manusia, yaitu pangan & energi yang harus saling bersienergi. Alasan diatas lah yang melatarbelakangi penulis untuk menawarkan rancangan komoditi unggulan secara terpadu dengan pilihan pada komoditi AREN, SINGKONG & SAPI.

Alasan pemilihan komoditi .

Aren dipilih karena beberapa hal sbb :

1) Produktiffitasnya sangat mengagumkan, dibanding komoditi yang lain 

2) Pendapatan dari usaha harus komoditi Aren sangat tinggi dan mensejahterakan rakyat secara langsung. Aren memiliki daya ungkit ekonomi rakyat sangat hebat .
3) Aren sangat fleksibel, dapat ditanam dimana saja, khususnya dalam memanfaatkan lahan kurang produktif yang selama ini tidak digunakan oleh komoditi pangan lainnya.
4) Aren tanaman asli Indonesia, yang adaptasinya sangat luas, mudah dibudidayakan dan masyarakat sudah familiar.
5) Produk–produk tanaman Aren sangat banyak sehingga dapat memicu ekonomi kerakyatan tumbuh sangat beragam & luas
6) Produk–produk dari Aren dapat diarahkan kepada industri kerajinan rakyat, industri pangan, industri bidang energi, industri hilir yang sangan beragam.
7) Aren berpotensi menggantikan peran Tebu sebagai alternatif bahan baku produksi gula nasional dan produksi gula rakyat.
Dengan semakin menurunannya produkfitas tebu, semakin tuanya pabrik-pabrik gula, semakin berkurangnya daya dukung lahan, Aren menjadi alternatif yang paling masuk akal. Sehingga pada dasa warsa yang akan datang Aren dapat diandalkan untuk mengganti peran tebu pada industri gula Nasional.
8) Pengembangan perkebunan dan industri berbasis Aren akan dapat menyerap tenaga kerja lebih banyak, sehingga dapat di andalkan untuk penanganan masalah pengganguran.

9) Dan lain-lain. (selengkapnya dapat dilihat dalam http://kebunaren.blogspot.com)



Aren termasuk tanaman jangka panjang, karena umur mulai berproduksi adalah sekitar 6-7 tahun. Oleh karena itu perlu di kombinasi dengan komoditi jangka pendek yang cocok dipadukan dengan perkebunan Aren. Tanaman yang hebat itu adalah singkong. Singkong dapat ditumpangsarikan dengan Aren, dan sama sekali tidak akan mengganggu Aren, demikian juga sebaliknya. 

Kenapa memillih Singkong :
1) Singkong adalah komoditi yang strategis, karena produk-produk hilirnya sangat banyak dan dibutuhkan oleh industri-industri lainnya, baik industri pangan, industri kimia, manufaktur, produksi energi, dll.
2) Sebagai bahan pangan, produk dari singkong dapat menggantikan fungsi beras ( sumber karbohidrat ), fungsi tepung terigu ( yang masih net impor).
3) Budidaya tidak sulit, menyakut / petani indonesia sudah sangat femiliar dengan singkong.
4) Rekayasa peningkatan produkfitas singkong, masih sangat terbuka dan gampang untuk direalisasikan, teknologinya sudah tersedia, selain itu sumber plasma nutfah singkong juga melimpah sehinga memudahkan untuk merakit genetik yang unggul dan berproduksi tinggi.
5) Seperti Aren singkong juga dapat dijadikan program kemandirian energi rakyat di pedesaan.
6) Singkong selama ini juga sudah menjadi bahan baku pakan ternak andalan. Bahkan limbahnya dapat menghidupkan industri peternakan yang akan memacu ketersediaan daging dan susu untuk pangan, serta pupuk & pestisida organik bagi dunia argroestate selanjunya.
7) Dan lain-lain.

Sinergi antara perkebunan Aren dan singkong menjadi pilihan paling prospektif dan strategis di masa akan datang. Sambil menunggu masa mulai panennya Aren, Singkong sudah dapat dipanen setiap 8-10 bulan dan terus menerus beriringan dengan Aren pada lahan yang sama.



Dengan pembudidayaan singkong ditengah-tengah kebun Aren dapat memaksimal-kan sumber daya manusia dan lahan yang ada, sekaligus meminimalkan input sarana produksi dan biaya operasional tenaga kerja. Artinya sistem keterpaduan ini bisa menyebabkan efisiesi biaya, sdm & sda yang ada. Untuk meningkatkan nilai tambah komoditi singkong maka perlu dirancang berdirinya industri pengolahan singkong, seperti pabrik pengolahan tepung cassava, tepung mocaf, deksrin, HFS, dll.
Adanya industri-industri tadi akan sangat menghidupkan ekonomi di pedesaan, tenaga kerja akan banyak dibutuhkan, maka penggangguran akan dapat diatasi. Bahkan tenaga-tenaga kerja dari luar akan berdatangan. TKI yang keluar negeri dapat dikurangi, kerena di negeri sendiri sudah terbuka lapangan pekerjaan .

Lalu apa hubungan dengan Sapi ?
Sapi adalah salah satu hewan ternak yang sangat penting dan strategis. Sapi akan memanfaatkan limbah dari hasil panen dan limbah industri singkong menjadi sumber pakannya. Limbah dari singkong seperti daun, pucuk singkong, dan kulit luar singkong, adalah pakan yang murah dan gratis bagi Sapi.

Sapi sangat di perlukan untuk menyempurnakan sistem besar keterpaduan diantara perkebunan Aren, singkong dan industri ikutannya. Selanjutnya dari usaha ternak sapi akan dapat di hasilkan pupuk dan obat-obatan yang akan menunjang produktifitas dari aren dan singkong itu sendiri. Pupuk dan obat-obat hama akhirnya dapat dipenuhi sendiri oleh sistem tersebut. Maka sinergi ini akan menjadi sangat sempurna karena hampir tidak memerlukan lagi pupuk dari luar sistem. Bahkan pupuk dan obat hama ini akan berlebih dan kelebihannya akan dapat dijual keluar sistem menjadi suatu nilai tambah lainnya.

Nilai tambah berupa pupuk dan obat hama ini tentu saja akan dapat mendukung ketersediaan sarana produksi bagi usaha tani lainnya dengan biaya yang lebih terjangkau. Dengan teknologi pengolahan pupuk dan obat-obat nabati ini akan dapat memacu produksi tanaman pangan lainnya yang ada disekitar sistem tadi.

Proyeksi / gambaran produk dari sistem terpadu

Dengan asumsi lahan usaha terpadu seluas 50 ha, maka dapat dihitung sebagai berikut :

1) Aren 200 pohon / ha x 50 ha = 10.000 pohon.

Produksi nira : 10.000 pohon x 50% = 5.000 pohon siap produksi setiap hari.
Jika setiap pohon menghasilkan nira 15 liter/ pohon/ hari, maka akan dihasilkan nira sebanyak : 15 liter/hari x 5.000 pohon = 75.000 liter/ hari.
Jika diolah menjadi gula (dengan konversi nira gula = 7.5 liter/ kg gula.
Maka produksi gula = 75.000 liter/ hari : 7.5 liter/ kg.
 = 10.000 kg gula/ hari.
 = 10 ton gula/ hari atau 3.000 ton/ tahun (jika 300 hari kerja).

2) Singkong seluas 50 ha. 
Dengan masa budidaya hingga panen selama 10 bulan dengan produktifitas sebesar 50 ton/ hektar,
Maka produksinya = 50 ha x 50 ton/ ha /10 bulan
  = 2.500 ton / 10 bulan 
Atau 250 ton/ bulan.
Jika dala sebulan jumlah hari kerjanya 25 hari, maka panen singkong setiap harinya : 250 ton/ bulan : 25 hr kerja/ bulan = 10 ton/ hari kerja.
  
  10 ton singkong /hari akan menghasilkan :
 a). Tepung mocaf = 25 % x 10 ton/ hari = 2.5 ton/ hari
 b). Kulit singkong = 15% x 10 ton /hari = 1.5 ton/ hari
 c). Daun dan pucuk singkong = 50 % x 10 ton = 5 ton / hari.
  
 3) Sapi
  Jika keperluan pakan sapi sekitar 50 kg / ekor / hari 
  Maka dengan limbah berupa kulit dan daun sebesar 6.5 ton/ hari, dapat dipelihara sapi sebanyak = 6.500 kg/ hari : 50 kg/ hari/ ekor = 130 ekor.
   
 Jika masa penggemukan sapi dalam satu siklus selama 6 bulan, maka dalam setahun ada 2 siklus. Atau dalam setahun dapat dipelihara sebanyak 260 ekor Sapi. 
 
 Adapun hasil dari penggemukkan selama masa 6 bulan akan menghasilkan pertambahan daging sebanyak : 150 hari x 0.6 kg/ hari/ ekor = 90 kg /ekor.
 Jika harga berat hidup Sapi itu sebesar Rp 25.000 /kg BH, maka pendapatan kotor dari usaha penggemukan Sapi ini adalah = Rp 2.25 Juta/ ekor/ siklus.
 
 Kalau 260 ekor setahun artinya ada potensi keuntungan sebesar Rp. 585 Juta/tahun dari penggemukkan sapi.

Dengan bertambahnya umur aren, maka populasi dari singkong juga dikurangi. Berkurangnya luas penanaman singkong menyebabkan berkurang juga produksi tepung, di kurang jumlah pakan sapi sehingga jumlah sapi yang diipelihara juga dikurangi / luas lahan.

Adapun proyeksi populasi singkong yang di taman diantara pohon Aren adalah sbb.




 Adapun proyeksi nilai ekonomi pendapatan usaha terpadu volume 50 ha ini adalah sbb :





Hitungan di atas adalah untuk lahan seluas 50 ha saja. Atau yang biasa / harus di kelola oleh satu kelompok tani dengan jumlah anggota 25 orang (masing-masing petani rata-rata memiliki 2 ha lahan).


Kalau di suatu desa itu ada 500 ha berarti akan terbentuk 10 kelompok tani dengan anggota 250 orang atau 250 KK. Kalau lahan mencapai 1000 ha berarti ada 20 kelompok tani dengan anggota 500 orang atau 500 KK. Ini sudah memenuhi syarat untuk menjadi suatu Gapoktan atau gabungan kelompok tani. Dalam hal pengelolaan usahannya bisa di kembangkan menjadi suatu koperasi atau Badan Usaha Milik Petani (BUMP) atau dengan sebutan yang lain yaitu Badan Usaha Milik Desa (BUMD).

Dalam hal pengelolaan keuangan dari BUMP/ BUMD ini bisa juga di bentuk suatu Bank desa atau LKM (Lembaga Keuangan Mikro). Sebenarnya kalau dilihat dari volume uang yang akan berputar dari bisnis usaha tani terpadu ini sudah sanggat layak untuk menjadi sebuah BANK DESA, karena memang berada di desa, bukan lagi LKM. Sebab dana yang berkembang sudah sangat besar .




OMSET USAHA DAN PENGEMBANGAN

Dari bisnis tepung saja kalau 50 ha sudah ada omset Rp 2 Milyar/ tahun, berarti kalau 1.000 ha omset akan mencapai Rp 40 Milyar/ tahun. Belum lagi sapi yang bisa mencapai sekitar Rp 10 Milyar/ tahun, pupuk dan obat hama yang mencapai Rp 5 Milyar/ tahun. Apalagi bila aren sudah mulai produksi pada tahun ke 6-7, omset usaha terpadu di desa ini akan mencapai angka Rp 600 Milyar per tahun. Desa dengan pendapatan sebesar ini mustahil jika rakyatnya ada yang sangat miskin.

Proyeksi pendapatan jika luas areal lahan usaha 1.000 ha.
1. Tepung : Rp 40 M
2. Sapi : Rp 10 M
3. Limbah : Rp 5 M
4. Aren : Rp 600 M
Jumlah : Rp 655 M/ tahun

Untuk mengolah lahan 1.000 ha semua petani sudah dibuat sewa lahan, belum lagi untuk mengolah industri tepung yang mencapai rata-rata lebih dari 10.000 ton/ tahun, mengolah sapi lebih dari 4000 ekor, mengolah pupuk dan urine sapi dengan volume lebih dari 6.000 ton/ tahun.

Kesibukan itu akan bertambah pada saat aren sudah mulai berproduksi. Volume gula yang harus di kelola akan lebih dari 60.000 ton Gula/ tahun yang diolah dari nira sebesar 450.000.000 liter Nira/ tahun. Tentu saja ini akan mengundang tenaga kerja dari luar desa tersebut akan tejadi urbanisasi ke desa kebun aren dan singkong seluas 1.000 ha ini.


PROYEKSI KEBUTUHAN TENAGA KERJA

Berapa proyeksi kebutuhan tenaga kerja yang akan diserap untuk usaha terpadu dengan dukungan lahan kebun seluas 1.000 ha ini.

1) Kebun singkong 1 orang/ ha X 1.000 ha = 1.000 orang
2) Pengelolaan tepung singkong 2 orang/ 50 ha, kalau 1.000 ha kebun = 400 0rang
3) Perkebunan aren :
- pemeliharaan kebun : 500 orang
- panen nira 5 orang/ha : 5.000 orang
4) Pabrik pengolahan gula :
  - angkutan hasil kebun : 200 orang
  - pengolahan Gula : 500 orang
  - managemen kebun : 50 orang
  - managemen pabri : 50 orang
5) Koperasi :
  - Administrasi : 10 orang
  - Simpan pinjam/ bank desa : 10 orang
  - Tenaga lapangan koperasi : 10 orang
  - Tenaga pemasaran, dll : 10 orang
  - Dll : 20 orang
  Jumlah 7.860 0rang

Bagaimana menurut Anda??

Sabtu, 05 September 2009

Harga Gula Terus Meroket, Tertinggi dalam Sejarah

Harga Gula Terus Meroket,  Tertinggi dalam Sejarah

JEMBER - Harga gula di tingkat konsumen kian hari semakin tak terkendali. Tingkat kenaikan harga cukup tinggi dan terjadi secara cepat. Kemarin, harga gula sudah menembus angka kisaran Rp 9.400-9.500/kg. 

Tak pelak, masalah melonjaknya harga gula ini menjadi pembahasan serius pemerintah. Bahkan, pagi hingga sore kemarin, Menteri Perindustrian dan Perdagangan (Menperindag) melakukan pembahasan serius di Jakarta dengan melibatkan Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), Dewan Gula Indonesia (DGI), para Dirut PTP, Kementerian BUMN, Menkoekuin, dan PT RNI. 

"Kenaikan harga gula saat ini termasuk yang tertinggi dalam sejarah pergulaan Indonesia," ujar HM. Arum Sabil, ketua APTRI yang kemarin turut hadir dalam rapat membahas masalah melonjaknya harga gula.

Menurut Arum, harga gula tinggi karena persediaan gula tidak seimbang dibandingkan tingginya permintaan gula di pasaran. Selain itu, harga gula naik karena India sebagai pemasok gula mengalami gagal panen. Dampaknya, harga gula internasional naik. 

"Saat ini harga gula internasional mencapai 590 US dolar per ton. Bila dihitung, harga gula internasional sampai Indonesia sudah di atas Rp 8 ribu," ujarnya. Padahal sebelumnya, rata-rata harga gula internasional sampai Indonesia hanya kisaran Rp 6 ribu. "Bahkan bisa di bawah Rp 5.500," paparnya. 

Masih menurut Arum, kejadian ini tidak pernah terjadi sejak Indonesia merdeka. Bahkan, karena gagal panen, India justru mengimpor gula 6 juta ton. 

Terkait adanya spekulan yang bermain-main dengan kenaikan harga gula saat ini, Arum menjelaskan, hal itu kemungkinan kecil terjadi. Pasalnya, bila melihat jumlah stok gula nasional saat ini, tidak mungkin ada penimbunan gula. "Kita sudah melakukan investigasi bersama tim penyidik PNS dari perindustrian dan perdagangan," ujarnya. 

Dikatakan, stok gula nasional per 27 Agustus 2009, real masih 266.679 ton. "Stok tersebut masih mencukupi untuk kebutuhan satu bulan," ujarnya. Itu belum ditambah estimasi gula yang masih dalam proses produksi yang mencapai 862.484 ton. "Kalau ditambah yang belum digiling masih ada 762.828 ton. Ini hanya untuk wilayah Jawa," ujarnya. Arum mengestimasi, produksi gula nasional 2009 diperkirakan mencapai 2,9 juta ton. 

Terkait adanya industri makanan dan minuman yang selama ini menggunakan gula rafinasi berbahan raw sugar yang beralih ke gula lokal, hal itu justru perlu disambut baik. Kata Arum, itu menunjukkan, bila gula lokal ternyata bisa digunakan untuk bahan baku industri makanan dan minuman (mamin). "Selama ini industri makanan dan minuman beralasan impor gula dilakukan karena kualitas gula lokal dinilai tidak bagus untuk bahan baku industri mamin," ujarnya. Ternyata, ketika gula impor mahal, industri mamin beralih ke gula lokal. "Itu berarti, gula lokal sebenarnya bisa digunakan untuk industri mamin," paparnya

Dengan begitu, nantinya tidak ada alasan lagi bagi industri mamin untuk tidak menggunakan gula lokal ketika harga gula impor lebih murah. "Buktinya gula lokal juga bagus untuk bahan baku industri mamin," tegasnya.

Untuk itulah, sudah saatnya pemerintah lebih serius melakukan revitalisasi pabrik gula dan meningkatkan produksi demi swasembada gula. 

Arum menambahkan, bila mengacu tahun 2008, kenaikan harga gula memang cukup signifikan. Namun, melihat fakta di lapangan, kenaikan tersebut wajar terjadi karena harga gula internasional memang naik. "Namun jangan sampai kemudian pemerintah membuka kran impor sebesar-besarnya dengan memberlakukan tarif masuk nol persen," ujarnya. Sebab, bila hal itu dilakukan akan mematikan petani tebu di Indonesia. "Harapannya petani bisa happy, konsumen tidak diberatkan dengan harga gula yang tinggi," ujarnya.

Arum cemas, jika kondisi ini tidak terkontrol dan pemerintah mengeluarkan kebijakan panik, yang dirugikan justru petani. "Oleh karena itu, kami berharap semuanya bisa bersama-sama menciptakan iklim usaha yang kondusif. Petani happy, konsumen happy," ujarnya. 

Dengan kenaikan harga gula ini, kata Arum, petani sebenarnya bisa untung. Perkiraannya, biaya produksi petani paling tinggi mencapai Rp 6 ribu per kilogram. "Ini sudah royal," ujarnya. Sedangkan harga gula internasional sekitar Rp 8 ribu. "Jadi, harga gula impor masih tinggi dibandingkan harga gula petani. Dijual Rp 7 ribu saja, petani sudah untung," ujarnya. 

Lain lagi dengan yang disampaikan Muhammad Ali Fikri, ketua Harian PPTR (Paguyuban Petani Tebu Rakyat) PTPN XI. 

Menurut Fikri, perubahan harga yang begitu cepat ini, membuat konsumen waswas, sehingga ada yang melakukan aksi borong atau panic buying. 

"Kami bersama dengan teman-teman melakukan pengamatan terkait kenaikan harga gula tersebut. Bagaimanapun juga kenaikan harga ini tidak dinikmati para petani tebu. Mereka tetap saja dalam kondisi awal," katanya. Kenaikan harga tersebut, menurut dia, salah satunya disebabkan ulah spekulan nakal.

Dikatakan, harga gula semakin mahal karena lahan tebu semakin menyempit. Di Jawa Timur saja, kata dia, 10 ribu hektare lahan tebu sudah berubah menjadi lahan komoditas lain. 

Puluhan ribu hektare lahan yang berubah fungsi ini tersebar di beberapa wilayah, seperti Jember, Bondowoso, Lumajang, Situbondo, Banyuwangi, Probolinggo, Madiun, dan Magetan. "Lebih banyak di wilayah kerja PTPN XI. Sedangkan di Jember sendiri ada 2.000 hektare lahan yang sudah ditanami komoditas lain," paparnya. 

Atas kondisi ini, menurut Fikri, jelas target produksi gula menurun. Dari target nasional produksi gula sebanyak 3,3 juta ton, saat ini hanya terpenuhi 2,7-2,8 juta ton. 

"Saat ini masih ada cadangan sekitar 200 ribu ton gula. Namun itu masih dalam bentuk bahan baku dan baru bisa diproduksi pada bulan September, Oktober, dan November," ujarnya.

Di samping itu, lanjut Fikri, naiknya harga gula dalam negeri ini juga dipengaruhi kenaikan harga gula dunia. Sampai saat ini harga gula internasional berada di atas USD 500/ton. Ini menyusul terjadinya gagal panen di beberapa negara produsen gula, seperti Brazil, India, dan Ecuador, karena pengaruh elnino. 

"Pada tahun ini, mereka sudah tidak memiliki banyak stok gula," tegasnya. Meski begitu, kondisi ini diperkirakan tidak terlalu lama terjadi. "Akan membaik tahun depan. Namun untuk saat ini mereka mengalami gagal panen. Sehingga stok gula dunia juga ikut berkurang," tegasnya.

Fikri menambahkan, faktor lain yang ikut mempengaruhi harga gula adalah masuknya gula lokal ke industri makanan dan minuman (mamin). Seharusnya, industri mamin menggunakan gula rafinasi (raw sugar). 

"Karena bahan tersebut mahal, akhirnya menggunakan gula lokal," tegasnya. Akibatnya, persediaan gula lokal untuk konsumsi rumah tangga ikut berkurang. 

Fikri juga melihat, kenaikan harga juga dipengaruhi adanya permainan dari spekulan nakal yang memanfaatkan kondisi gula yang menipis. 

"Mereka melihat bahwa stok gula untuk nasional di tahun 2009 ini menipis. Akhirnya melakukan pembelian besar-besaran. Kemudian menimbun dan menjual di saat yang sudah ditentukan. Karena stok terus menipis, mereka bisa menjual dengan harga tinggi," ungkapnya. 

Fikri mengungkapkan, dengan naiknya harga gula di konsumen, petani tebu tidak merasakan imbasnya. Ini mengingat, harga gula tebu petani sudah memiliki HPP (harga pokok pemerintah). 

"Pemerintah menetapkan harga Rp 5.350/kg," ujarnya. Dengan harga HPP Rp 5.350/kg, diharapkan harga di tingkat konsumen hanya kisaran Rp 7 ribu/kg. 

Sayang, tampaknya hal itu tidak sesuai dengan rencana. Buktinya harga gula semakin melambung mencapai Rp 9.500/kg. Padahal, dalam lelang terakhir telah disepakati harga gula mencapai Rp 8.375/kg di pasaran. (wnp/rid)

Sumber :

http://www.jawapos.com/radar/index.php?act=detail&rid=111115

Kamis, 06 Agustus 2009

MERANCANG PERMINTAAN GULA KELAPA SEMUT ORGANIK (COCONUT BROWN SUGAR ORGANIC) DARI PT BENING BIG TREE FARM BALI









MERANCANG PERMINTAAN GULA KELAPA SEMUT ORGANIK (COCONUT BROWN SUGAR ORGANIC) DARI PT BENING BIG TREE FARM BALI  

Oleh : Dian Kusumanto

Pada akhir Juli 2009 yang lalu saya mendapat telpon dari Ibu Wahyu Sriningsih dari PT Bening Big Tree Farm (BBTF). Ibu Wahyu ini mengatakan bahwa perusahaannya bergerak di bidang sertifikasi produk organik dan sekaligus sebagai penampung dan pengekspor produk-produk organik ke Amerika Serikat. Produk-produk organik yang sudah ditangani ada beberapa macam antara lain adalah Gula Kelapa Serbuk (Coconut Brown Sugar). Beliau juga menyampaikan target permintaan dari pembelinya di Amerika Serikat untuk Coconut Brown Sugar sekarang ini sebenarnya sekitar 60 ton per bulan. Namun yang baru bisa dipenuhi adalah 12 ton, yang berasal dari petan binaannya yang ada di Jogja dan sekitarnya.

Kepada saya meminta informasi tentang sumber-sumber atau sentra-sentra produksi gula kelapa rakyat yang bisa diarahkan atau dibina menuju produksi gula kelapa serbuk organik sesuai permintaan pasar yang ada di Amerika Serikat. Saya belum bisa memberikan data pasti, kecuali beberapa gambaran yang belum detail tentang sumber atau sentra produksi gula kelapa ini. Kalau untuk merubah dari yang tradisional menuju gula kelapa organik standard ekspor, saya mengira hal in tidak terlampau sulit apalagi jika tawaran harganya juga cukup menggairahkan.

Saya kemudian terbayang kepada para perajin Gula Kelapa yang ada di Kabupaten Banyuwangi, Jember, Blitar, Banyumas, Cilacap, dll. yang selama ini masih belum terakses dengan pasar di luar negeri. Mutu produk mereka sejak jaman dulu kala masih seperti itu itu saja. Tidak ada perkembangan dan perubahan yang lebih baik, tidak ada merek, apalagi sertifikasi produk organik. Jaminan mutu atau kualitas produk belum ada, namun herannya konsumen juga masih terus menggunakan produk tradisional ini. Hal ini karena harganya terjangkau alias murah Akibatnya adalah nasib para perajin juga masih biasa-biasa saja, belum terangkat menjadi lebih baik.  



Dalam tulisan yang lalu pernah saya uraikan tentang rancangan yang barangkali bisa memperbaiki nasib mereka dengan suatu pola baru. Suatu pola baru itu memasukkan unsur teknologi tungku dalam penghematan bahan bakar dan tenaga kerja, perbaikan mutu produk gula dan menambah produk-produk samping bernilai tambah tinggi seperti arang dan asap cair. Selain itu pola baru yang saya rancang itu juga memperbaiki sistem kelembagaan atau organisasi usaha dengan berkelompok atau berkooperasi dengan pola hubungan antar pelaku yang lebih adil. Alhasil dengan pola baru nanti beberapa nilai tambah itu akan diperoleh bagi seluruh pelaku usaha gula kelapa rakyat ini, yang muaranya adalah perbaikan pendapatan dan kesejahteraan seluruh pelaku usaha secara adil.

Kemudian otak saya berputar, bahwa tawaran dan informasi ini kiranya adalah merupakan sambutan positif dari konsep yang pernah saya tulis dulu. Dan memang Ibu Wahyu ini tertarik setelah membaca tulisan saya itu yang diposting di http://kebun-kelapa.blogspot.com. Setelah beberapa hari mengendap barulah saya mencoba menghitug-hitungnya dan menulis artikel ini. Saya berharap artikel ini bisa menggugah para perajin yang ingin merubah mind set produknya dari yang tradisional menuju pasar ekspor, minimal dapat memenuhi pasar yang sudah dirintis oleh PT Bening Big Tree Farm ini.  

Angka 60 ton per bulan itu sudah sangat menantang. Jika dihitung per hari berarti 2 ton atau 2.000 kg per hari. Berapa banyak petani perajin untuk dapat memenuhi angka ini? Hitungan yang saya ambil dari tingkat lapangan di Desa Pondok Nongko Kecamatan Kabat Banyuwangi adalah sebagai berikut :

a). Setiap perajin biasanya mengelola antara 50 - 60 pohon kelapa, masing-masing memiliki unit pengolahan yang berupa tungku dan peralatan lainnya.
b). Produksi gula cetak berkisar antara 25 – 40 kg per hari per perajin dengan 1 unit tungku pengolah gula.
c). Setoran gula kepada pemilik kebun kelapa adalah 1 ons per pohon per hari kalau 50-60 pohon berarti sekitar 5 - 6 kg /hai per perajin.
d). Harga jual di tingkat pengepul Rp 5.000/kg
e). Kebutuhan kayu bakar 1 truk dengan harga Rp 375.000/ truk digunakan untuk 10-15 hari.
f). Tenaga kerja yang digunakan biasanya : 1 - 2 orang sebagai pemanjat dan 1 orang yang memasak dan mencetak gula (biasanya keluarga sendiri).
g). Masing-masing perajin sudah terikat kontrak pembelian dengan para pengepul Gula, bahkan para perajin sudah hutang alias bon uang atau barang kepada pengepul atau juragan gula.
h). Selain melakukan pemanjatan, sepanjang hari kerja mereka di rumah gubuk atau pondok kecil beratap daun atau genteng yang didirikan ditengah, dipinggir atau di dekat kebun kelapa yang disadap niranya. Pondok ini digunakan sebagai rumah tungku dan tempat beristirahat sekaligus untuk mengolah, mencetak dan menyimpan gula sebelum disetor ke pengepul.

Dari gambaran di atas dapat dihitung, bahwa untuk target 2.000 kg sehari atau 60 ton per bulan, dapat diperoleh dari antara 50 – 80 perajin. Kalau misalnya setiap 10 orang perajin dibentuk 1 (satu) kelompok, maka akan dibentuk antara 5 – 8 kelompok. Setiap kelompok nanti diharapkan akan dapat menghasilkan gula antara 250 – 400 kg per hari. Jadi kalau setiap kelompok itu alat pengolahannya disatukan, maka setiap kelompok memerlukan alat pengolah gula dengan kapasitas 250 – 400 kg Gula per hari, yang berasal dari nira kelapa sekitar 1.250 – 2.000 liter per hari, atau yang disadap dari pohon kelapa sebanyak antara 500 – 600 pohon.

Kenapa satu kelompok itu terdiri dari 10 orang, karena kalau terlalu banyak agak susah kita mengaturnya, terutama kalau pola menejemen diserahkan kepada salah satu diantara para perajin atau orang luar yang dipilih mereka. Kadang-kadang ini yang agak sulit, karena selama ini mereka saling bersaing. Akan lebih bagus bila menejemen korporasi ini dikelola langsung oleh pihak ketiga yang bisa dianggap adil oleh mereka. Sebaliknya kalau terlalu sedikit anggota kelmpoknya nanti kapasitas alat dan mesin pengolah telalu kecil, maka kurang efisien. Angka ini juga tidak patokan kaku, tapi bisa disesuaikan dengan pertimbangan-pertimbangan lainnya, terutama kapasitas alatnya.

Lalu apa yang menarik dari tawaran dari Ibu Wahyu ini. Tidak lain adalah bahwa produk Gula Kelapa kita akan menerobos pasar Amerika dengan jaminan setifikasi dari BBTF. Kemudian produk Gula kita akan mempunyai merek dan sekaligus patent sebagai syarat jaminan mutu. Jumlah 60 ton per bulan memang tidak terlalu besar bagi potensi produksi Gula rakyat yang ada di Indonesia. Tap bukankah untuk mencapai yang besar kita memulai dari yang kecil dulu. Tapi bagi sesuatu yang baru angka 60 ton ini cukup besar juga, karena akan melibatkan ratusan orang yang selama ini pola usahanya masih individual dan tidak pernah berorganisasi secara rapi. Ini merupakan pembelajaran sekaligus tantangan yang sebenarnya juga cukup rumit. 

Sekilas cerita melalui telpon dari Ibu Wahyu seolah menyiratkan sulitnya mengelola petani yang ada di Jogjakarta, yang sekarang baru mencapai produk 12 ton per bulan. Seolah-olah seperti sulitnya menjinakkan hewan yang biasanya liar dari hutan yang kemudian harus terkurung dalam sangkar sistem yang penuh aturan dan perjanjian-perjanjian. Biasanya memang ada saja yang bersikap kontra produktif dengan sistem baru yang sedang dibangun itu. Sebenarnya pihak BBTF akan lebih senang jika ada pihak yang dapat mengelola korporasi ini secara mandiri, namun tetap masih dalam aturan sistem yang disepakati bersama, sehingga pihak BBTF akan bisa mengembangkan pada pasar yang lebih luas dengan kuota yang lebih besar lagi.

Lalu berapa sih nilai harga Gula Kelapa Serbuk Organik yang diterima pihak BBTF? Harga yang kemarin dibuka adalah Rp 13.000 per kg. Jadi kalau kuota 60 ton per bulan bisa dipenuhi, artinya ada potensi devisa sebesar Rp 780 juta per bulan. Kalau korporasi dengan peran dan jasanya memungut Rp 1.500 per kg Gula dari para perajin, maka korporasi akan berpotensi mendapatkan pemasukan sekitar Rp 90 juta per bulan. Para perajin yang tegabung akan mendapatkan Rp 11.500 per kg Gula atau seluruhnya berjumlah Rp 690 juta per bulan. Kalau jumlah perajin yang terlibat sebanyak 50-80 orang, maka setiap orang berpotensi mendapatkan hasil penjualan Gula sebesar rata-rata antara Rp 8.625.000 sampai Rp 13 juta per bulan atau antara Rp 287.500 sampai Rp 433.333 per orang per hari.  

Atau kalau proporsi ini dikembangkan dengan beberapa alternatif dapat banyak pilihan pola proporsi harga sekaligus nilai pendapatan antar pelaku usaga Gula Kelapa Serbuk Organik ini. Beberapa alternatif itu adalah sebagai berikut :

No.---Harga BBTF---Jasa Korp. ---Laba (Rp/kg) --Laba (Rp /60 ton/bln) ----per petani
 ------(Rp/kg) -------(Rp/kg) -----Korporasi-------Korporasi--Petani---------(Rp/bln) .

1. -----13.000 --------12.000 -----1.000 ---------60 juta -----720 juta -------9.0 - 14,4 jt
2. -----13.000 --------11.500 -----1.500 ---------90 juta -----690 juta -------8,6 – 13,0 jt
3. -----13.000 --------11.000 -----2.000 ------- 120 juta -----660 juta -------8,2 - 13,2 jt
4. -----13.000 --------10.500 -----2.500 --------150 juta -----630 juta -------7,8 - 12,6 jt
5.----- 13.000 --------10.000 -----3.000 --------180 juta -----600 juta -------7,5 - 12,0 jt
6. -----13.000 ---------9.500 ------3.500 --------210 juta -----570 juta -------7,2 - 11,4 jt
7. -----13.000 ---------9.000 ------4.000 --------240 juta -----540 juta -------6,9 - 10,8 jt
8. -----13.000 ---------8.500 ------4.500 --------270 juta -----510 juta --------6.6 - 10.2 jt
9. -----13.000 ---------8.000 ------5.000 --------300 juta -----480 juta -------6.3 - 9.6 jt

Sebenarnya pada tingkat harga Rp 9.000 per kg saja petani perajin sudah dapat menikmati hasil yang lebih baik dari pada sekarang ini. Kalau dulu harga Gula Kelapa Cetak hanya senilai Rp 5.000 /kg saja. Memang dengan diolah menjadi Gula Semut dengan kadar air yang lebih sedikit maka ada pengurangan hasil gula sekitar 10 %, namun disisi lain ada peningkatan harga. Kalau dibandingkan antara Gula Semut dengan Gula Cetak maka ada kenaikan sebesar (Rp 9.000 x 90%) – Rp 5.000 = Rp 3.100 per kg Gula Cetak. Artinya kalau misalnya biasanya petani menghasilkan 30 kg Gula Cetak dengan perolehan kotor Rp 150.000, maka ada penambahan menjadi Rp 243.000 per hari atau Rp 7,290.000 per bulan.  

Belum lagi ada keuntungan-keuntungan lain karena sudah dikelola oleh korporasi seperti :
1. Tenaga pengolahan tidak ada lagi
2. Ongkos pembelian bahan bakar
3. Biaya operasional pemasaran produk
4. Pemeliharaan peralatan,
5. dll. 

Para perajin yang tergabung dalam korporasi bisa jadi mendapatkan penawaran-penawaran khusus yang dinikmati misalnya :
1. Asuransi keselamatan kerja
2. Asuransi kesehatan bagi keluarga
3. Jaminan hari tua
4. Asuransi perumahan
5. Bantuan pendidikan anak
6. Fasilitas kredit perumahan
7. Fasilitas kredit kendaraan,
8. Fasilitas liburan bersama
9. Jaminan sosial lainnya
10. Dll.

Bagaimana mengenai pengolahannya? Pengolahan nira sampai menjadi gula akan dikelola oleh Corporasi (selanjutnya kita sebut dengan koperasi). Koperasi akan membiayai pengadaan peralatan dan mesin yang diperlukan untuk pengolahan, pengemasan, pengangkutan, penampungan sampai pemasaran gula. Koperasi juga mengelola administrasi dan keuangan yang menyangkut usaha gula maupun kepentingan-kepentingan anggota koperasi. Jadi para petani perajin hanya bertugas sebagai penyadap dan pemelihara pohonnya supaya tetap menghasilkan nira yang bermutu bagus yang siap untuk diolah menjadi gula. Maka untuk pekerjaan inilah koperasi harus memungut jasa kelola usaha ini dengan lebih bermartabat.
Bagaimana dengan pemilik kebun atau pohon kelapa yang disadap? Pemilik pohon kelapa biasanya hanya menerima bagi hasil berupa gula atau uang senilai 1 ons gula untuk setiap pohon kelapa yang disadap. Jadi kalau ada 50 pohon yang disadap maka pemilik pohon berhak mendapatkan gula sebesar 5 kg atau uang senilai harga gula pada saat itu. Pemilik pohon bisa mendapatkan gula atau uang sesuai dengan perjanjian yang dibuat sebelumnya. Ini yang lazim digunakan.

Apakah dalam koperasi nanti polanya sama? Kalau masih dinilai bagus dan adil hal ini bisa saja diterapkan. Namun kalau dinilai kurang adil bisa juga diubah dengan metode yang lain. Pola yang pernah penulis temui adalah dengan sistem kontrak pohon selama periode waktu tertentu. Misalnya yang dilakukan Pak Subandi di Sebatik Nunukan, yang mengkontrak 200 pohon kelapa untuk disadap niranya dan dibuat gula. Untuk 100 (seratus) pohon dikontrak dengan harga Rp 8 juta per tahun. Jadi kalau 200 pohon Rp 16 juta setahun. Pada saat itu Pak Subandi bayar di depan atau diawal kontrak itu disepakati dan diperbaruhi setiap tahunnya.

Apa saja yang menjadi tanggung jawab korporasi ?
1. Membeli nira 
2. Mengatur pola kerja para anggota penyadap
3. Mengolah nira menjadi Gula
4. Menyiapkan Alat dan Mesin
5. Menyiapkan Gudang dan Pabrik
6. Menyiapkan Kantor
7. Menyiapkan bahan bakar
8. Memenej seluruh SDM yang terlibat
9. Mengelola administrasi dan keuangan Koperasi dan angotanya
10. Melakukan hubungan dengan pihak pembeli dan pihak lainnya.
11. Melakukan transaksi perdagangan dengan mitra usaha
12. Melayani kepentingan-kepentingan anggota yang berhubungan dengan usaha dan kepentingan lainnya sesuai kesepakatan.
13. Melakukan riset dan pengembangan usaha.
14. dll.


Beberapa pola kemitraan antara anggota, pengurus koperasi, dan pihak BBTF atau pihakketiga lainnya.

Apa saja nilai tambah dari usaha Coconut Brown Sugar ?
1. Mutu produk lebih bagus (Export Quality)
2. Harga produk lebih tinggi dari biasanya
3. Diversifikasi produk sesuai segmentasi pasar
4. Penghematan bahan bakar
5. Adanya produk samping berupa Arang
6. Adaya produk samping berupa Asap Cair (Liquid Smoke)
7. Penghematan tenaga kerja
8. Adanya jaminan bagi kesehatan, resiko kecelakaan dan jaminan sosial lainnya bagi para anggota.

Perhitungan nilai tambah :

1. Arang Kayu
Arang kayu yang diperoleh sebanding dengan jumlah kayu yang dibakar, cara pembakaran, nilai konversi dari kayu menjadi arang dan jenis kayu atau biomassa lannya.
Jika diasumsikan nlai konversi dari kayu menjadi arang ini mencapai 30 %, maka jika kayu untuk mengolah nira sebanyak 10.000 liter/hari ini 20 ton/hari, maka arang yang akan diperoleh adalah 6 ton/hari. Jika harga arang Rp 1.000/kg maka akan diperoleh nilai tambah dari Arang Kayu ini senilai Rp 6 juta/hari, atau Rp 180 juta/bulan atau Rp 2,16 M/tahun.

2. Asap Cair
Asap Cair yang akan diperoleh sebanding dengan jumlah kayu yang dibakar, cara pembakaran, nilai konversi dari kayu menjadi Asap Cair dan jenis kayu atau biomassa lannya.
Jika diasumsikan nlai konversi dari kayu menjadi Asap Cair ini mencapai 20 %, maka jika kayu untuk mengolah nira sebanyak 10.000 liter/hari ini 20 ton/hari, maka Asap Cair yang akan diperoleh adalah 4 ton/hari. Jika harga Asap Cair Rp 5.000/kg maka akan diperoleh nilai tambah dari Asap Cair ini senilai Rp 20 juta/hari, atau Rp 600 juta/bulan atau Rp 7,2 M/ tahun.

3. Penghematan kayu bakar
Banyaknya kayu bakar yang digunakan untuk mengolah nira tergantung dengan teknologi dan alat yang digunakan. Semain efisien teknologi dan aat yang digunakan maka akan semakin sedikit baha bakar kayu yang digunakan. Pola tradisional yang memasak menggunakan tungku yang sederhana bisa menggunakan kayu yang sangat banyak. Jika dihitung berdasarkan rasio antara nira yang dimasak sampai menjadi Gula Cetak dengan bahan bakar yang digunakan mungkin akan mencapai 1 liter nira : 4 kg kayu.
Jadi jika 10.000 liter nira yang dimasak maka kayu yang digunakan dengan cara tradisional akan mencapai 40 ton atau 40.000 kg atau sekitar 10 truk kayu.
Namun kalau menggunaka teknologi pengolahan dan tungku yang modern dengan tingkat efisiensi yang tinggi maka bahan bakar bisa dihemat, sebab rationira dan keperluan bahan bakar bisa diperkecil, misalnya menjadi 1 liter dibanding 2 kg bahan bakar kayu. Sehingga kalau yang diolah 10.000 liter nira/ hari, maka jumlah bahan bakar yang diperlukan adalah 20 ton (5 truk kayu) atau separuh dari sebelumnya.
Kalau 1 truk harga kayu Rp 375.000 maka jika ada penghemaan 5 truk per hari, maka yang dihemat senilai RP 1.875.000/ hari atau Rp 56,25 juta/ bulan atau Rp 675 juta per tahun.

4. Mutu produk meningkat harga juga meningkat
Tujuan dari berkoporasi antara lain adalah untuk meningkatkan mutu produk, yang biasanya berupa Gula Cetak dengan mutu biasa-biasa dan berstandar menjadi aneka produk gula yang berstandard ekspor. Yang dulunya tidak bemerek menjadi punya merek, punya patent dan bersertifikasi. Yang dulu kemasannya biasa-biasa saja menjadi produk yang menarik karena kemasannya bagus dan bervariasi. Mutu dan penampilan ditingkatkan untuk memperluas pasar secara vertikal karena menembus kalangan masyarakat konsumen ekonomi menengah dan tinggi, secara horisontal karena tersebar kepada konsumen di luar negeri.

Produk Palm Sugar sebenarnya memiliki nilai lebih dibandingkan dengan gula dari tebu, gula dari pohon maple, dll. Kelebihan yang melekat itu karena kandungan gizi Palm Sugar lebih lengkap. Kelebihan itu akan bertambah dengan citra organik yang terjaga dari proses budidaya pohonnya, penyadapannya sampai pada proses pengolahan dan pengemasannya.

Kelebihan-kelebihan di atas harus juga tercermin dari kemasan yang eksklusif, cantik, menarik yang mencitrakan produk yang memang mempunyai kelebihan dan keunggulan. Dengan demikian sangat wajar jika akan dihargai dengan lebih mahal dibandingkan yang biasa-biasa saja.


5. Diversifikasi produk
Produk juga akan mengalami pengembangan disesuaikan dengan pangsa pasar dan proses pengolahannya. Tentu karena sifat nira ini juga mudah mengalami perubahan kemis dan fisik karena adanya kandungan enzim yang masih aktif, maka dengan beragamnya keadaan petani anggota, dimungkinkan terjadinya mutu bahan nira yang beragam.  
Nira beragam kualitasnya karena beberapa hal, antara lain :  
- Masa sadap dan masa pemungutan,  
- kualitas kebersihan wadah nira, 
- jauh dan lamanya pengangkutan, 
- ada atau tidak adanya proses pematian atau penonaktifan enzimatis (dengan pemanasan),  
- kecepatan handling nira di pabrik, dll.
Maka nira digraging berdasarkan 2 hal, yaitu kadar gula dan pHnya, yaitu :
- Mutu A, dengan kadar gula 12 % dan pH diatas 6.5
- Mutu B, kadar gula 12 % dan pH antara 6 - 6,5
- Mutu C, kadar gula 12 % dan pH dibawah 5,5 – 6
- Mutu D, kadar gula 12 % dan pH dibawah 5,5

Setiap penurunan dan kenaikan kadar gula, maka nilai pembeliar nira juga menyesuaikan, karena pada dasarnya yan dibeli adalah kadar gulanya. Perlu juga dipahami bahwa dengan semakin besarnya kadar gula maka waktu mengolah juga semakin berkurang sehingga bahan bakar juga berkurang. Sebaliknya jika kadar gula semakin kurang artinya kadar air semakin tinggi, maka proses pemasakan menjadi lebih lama dan bahan bakar juga bertambah.

Demikian juga halnya dengan kadar pH. Jika pHnya rendah berarti telah terjadi proses fermentasi, artinya sebagian gula sudah diubah menjadi alkohol atau cuka, sehingga kadar gulanya berkurang. Selain itu kadar asam yang terbentuk dari proses fermentasi akan menyebabkan nira lama diolah menjadi gula, sehingga proses pemasakannya memerlukan bahan bakar lebih banyak dan mutu hasil gula menjadi menurun bahkan gula gagal dibentuk (kecuali gula cair).  

Nira yang terlalu asam akhirnya tidak bisa diolah menjadi gula dengan mutu yang standar, melainkan diolah menjadi gula cair, saguer (syrup asam), atau bahkan diolah menjadi bioethanol ataupun cuka. Produk-produk ini mengantisipasi beragamnya mutu nira yang nanti mungkin akan diterima dari petani. Tentu saja ini bukan produk utama yang dikehendaki, namun ini perlu diantisipasi agar jerih payah petani bisa tetap dihargai.  

Keadaan yang menyebabkan beragamya kualitas nira ini sangat banyak, baik teknis maupun nonteknis, baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja, seperti :
- Kebersihan wadah nira
- Perubahan cuaca
- Kebersihan pisau waktu penyayatan sadap
- Lamanya masa pengangkutan nira
- Tercampurnya nira dengan air hujan atau partikel lain di kebun
- Adanya hewan yang masuk dalam nira

Disamping diversifikasi produk terpaksa dilakukan karena mutu nira, bisa juga diversifikasi produk memang disengaja karena berkembangnya pasar dan tuntutan konsumen. Misalnya :
- Gula serbuk (Brown Sugar)
- Gula serbuk dengan aneka rasa dan flavour
- Gula Cetak berbagai ukuran
- Gula Cetak dengan aneka rasa dan flavour
- Gula Cair berbagai ukuran kemasan dan grade (mutu)
- Gula Cair dengan aneka rasa dan flavour
- Saguer berbagai rasa dan flavour
- Bioethanol dengan berbagai kandungan 
- Cuka dengan berbagai kandungan
- Dll.

(Bersambung)

Senin, 13 Juli 2009

PAK OCOP : Merancang Persiapan Bibit Aren Skala Besar di Kaltim

From kebunaren to the world


Oleh : Dian Kusumanto


Adalah Bapak Ir. HM Yadi Sofyan Noor, sang Ketua KTNA Provinsi Kalimantan Timur, yang juga sebagai Wakil Ketua HKTI Provinsi Kalimantan Timur, memang seorang tokoh pertanian yang sangat ulet. Pada Bulan Mei yang lalu Pak Ocop, begitu biasa kami memanggil, memesan kepada saya benih kecambah Aren dan bibit Aren yang siap tanam dalam jumlah yang cukup banyak. Sebagai seorang teman saya berusaha dapat melayani sebaik-baiknya, seperti juga yang saya lakukan kepada para pemesan bibit Aren lainnya.


Pada awal Bulan Juli ini, akhirnya kami bisa bertemu lagi secara langsung di Samarinda. Pada bulan April yang lalu kami juga sudah saling ketemu di Jakarta, pada saat ada acara Rapim KTNA. Mulai saat itulah kami terus berinteraksi khususnya tentang rencana pengembangan Aren di Kalimantan Timur. Beliau memang padat acaranya, sebagai seorang tokoh di Kalimanta Timur, Pak Ocop juga sebagai pengurus teras di DPP KTNA Pusat. Dari beberapa pemikirannya Pak Ocop juga sangat antusias untuk mengambil peran dalam program pengembangan Aren di masa yang akan datang.


Pernah ditanya oleh beberapa teman, kenapa kok mau menanam Aren? Pak Ocop cuma memberi gambaran yang ringan saja, yaitu bahwa sekarang ini lidi Aren, ijuk Aren sangat diminai dunia untuk aneka kerajinan, sapu, bahan industri dan aneka keperluan lainnya. Itu dari produk sampingannya saja, belum lagi yang utamanya yaitu nira yang setiap hari bisa disadap, bisa diolah menjadi Gula, Bioethanol, Bahan Obat-obatan, Bahan Industri Kecantikan, Aneka Minuman dan Makanan, dll.


Pak Ocop juga sangat yakin, sebab tanpa diperlakukan secara istimewa, bahkan petani membiarkan saja dan hanya mengambil hasilnya, kontribusi pohon Aren kepada petaninya sudah lumayan tinggi, apalagi kalau pohon Aren itu diperlakukan istimewa. Kelapa Sawit contohnya, karena dipiara dengan baik, dengan perkebunan yang baik dia juga dapat menjadi andalan keluarga. Apalagi Aren yang potensinya lebih hebat dari pada Kelapa Sawit. Tinggal bagaimana kita bisa memperlakukannya secara baik dan istimewa, agar Aren juga memberikan hasil yang istimewa. Karena itulah beliau bertekad agar Kalimantan Timur tidak ketinggalan untuk mengembangkan Aren, bahkan kalau bisa menjadi yang terdepan dalam pengelolaan kebun Aren yang modern.


Ada peluang yang sangat besar bahwa Kaltim menjadi pusatnya program pengembangan Aren, meskipun Kaltim selama ini tidak termasuk sentra tanaman Aren, namun Kaltim memiliki lahan yang sangat luas untuk terciptanya perkebunan Aren yang modern. Perkebunan Aren modern inilah yang akan dijadikan icon suatu daerah menjadi sangat diperhitungkan sebagai pusatnya program pengembangan Aren se Indonesia, bahkan dunia. From kebun Aren to the world. Mungkin begitu mottonya.


Pak Ocop memiliki langkah-langkah yan nyata dalam setiap usahanya. Pernah saya tawarkan untuk mengadakan sosialisasi tentang Aren di Kaltim, Pak Ocop memlih jangan dulu. ”Jangan dulu Mas Dian, itu nanti saja”. Kita tanam dulu di kebun kita sendiri dan menyiapkan pembibitan yang banyak. Sebab kalau nanti diseminarkan orang pada tertarik kemudian meminta bibit, kita nanti akan kebingungan. Sebaiknya kita mantabkan dulu riset-riset kita dan kita bangun dulu sistem pembibitan Aren yang mengacu pada GAP (Good Agriculture Practices) dengan skala yang cukup besar.


Ada peluang yang sangat besar bahwa Kaltim berpeluang dapat menjadi pusatnya program pengebangan Aren di Indonesia. Meskipun selama ini Kaltim tidak termasuk sentra tanaman Aren, namun Kaltim memiliki potensi lahan yang sangat luas untuk terciptanya perkebunan Aren yang modern. Perkebunan Aren Modern inilah yang akan dijadikan icon atau tolok ukur, apakah suatu daerah menjadi sangat diperhitungkan sebagai pusatnya program pengembangan Aren di Indonesia bahkan se dunia.


Pak Ocop memiliki langkah-langkah yang nyata dalam setiap usahanya. Pernah saya tawarkan untukmengadakan sosialisasi tentang Aren di Kaltim dengan cara mengadakan seminar-seminar, namun Pak Ocop memilih jangan dulu. Menurut Pak Ocop sebaiknya kita sebagai pemrakarsa ini mempeloporinya dengan menanamnya lebih dulu dan menyiapkan pembibitan yang banyak. Sebab kalau nanti seminar, orang kemudian banyak yang tertarik untuk mengembangkannya, kemudian meminta bibit, akan repot kalau bibitnya belum siap. Akan lebih baik menurutnya kalau kita mantabkan dulu riset-riset dan membangun sistem pembibitan Aren yang baik dengan skala yang cukup besar.


Penulis sangat menghargai pendapat Pak Ocop ini, karena memang beliau seorang yang dikenal ulet dan seorang pengusaha yang berhasil di Kaltim. Kebun buah-buahan Pak Ocop yang saya tahu saja ada sekitar 50 hektar, selain itu Pak Ocop punya kebun hortikultura yang terkelola dengan baik dengan jenis komoditi seperti lombok, tomat, semangka, melon dan lain-lain. Pak Ocop juga seorang produsen bibit kelapa sawit siap tanam yang cukup besar di Provinsi Kaltim. Mutu bibitnya sudah terkenal cukup baik diantara produsen bibit yang ada. Pengalaman di bidang perbibitan tanaman memang sudah lama ditekuninya, dulu beliau juga melayani berbagai bibit tanaman penghijauan atau reboisasi hampir di seluruh Kaltim.


Sebagai tokohnya Provinsi Kalimantan Timur, Pak Ocop juga sangat dekat dengan tokoh Kaltim lainnya, termasuk dengan Bapak Gubernur H. Awang Faroek Ishak (Gubernur AFI). Untuk program Aren di Kaltim, Pak cop adalah andalan saya untuk mengenalkan Aren kepada Bapak Gubernur AFI. Terus terang, obsesi saya adalah mewujudkan agar Provinsi Kalimanatan Timur menjadi iconnya Aren Nasional. Oleh karena itu sebagai langkah awalnya adalah melalui pendirian Pusat Pembibitan Aren yang profesional dengan skala nasional, dan kemudian pembangunan perkebunan Aren yang modern, baru icon Aren nasional ini dapat diakui.


Sebenarnya ada beberapa daerah yang sudah sangat eksis sebagai sentra produksi Aren Nasional, tapi mereka belum memiliki 2 hal di atas, maka dalam perspektif ini mereka belum layak menjadi icon nasionalnya Aren. Sulawesi Utara misalnya, meskipun memiliki populasi Aren yang sangat luas, serta ada juga Pusat Penelitian tentang Aren yaitu BALITKA Manado, namun dari sisi pengelolaan kebun masih biasa saja, pembibitan juga belm menasional, pabrik pengolahannya ada tapi belum benar-benar hebat.


Program Nasional tentang Aren, selama ini belum ada. Dirjen Perkebunan Deptan belum memiliki Road Mapyang jelas tentang program Aren Nasional. Yang ada baru statement-statement beberapa ahli dan tokoh-tokoh nasional yag belum disertai dengan langkah-langkah yang kongkrit dan nyata. Meskipun demikian sebenarnya juga sudah ada pendirian pabrik pengolahan Aren seperti di Tomohon Sulut yang diresmikan oleh Bapak Presiden SBY.


Langkah-langkah yang ada belum sistematis, namun masih sporadis yang disesuaiakn dengan perkembangan yang ada. Namun industri Aren kalau tidak ditunjang dengan perkebunan yang modern, menjadi tidak ekonomis dan efisien. Pabri Gula Aren Tomohon bisa menjadi contoh kongkrit akan perlunya secara sinergis antara pengembagan kebun yang modern terintegrasi dengan unit pengolahannya.


Populasi Aren yang terpencar-pencar, tersebar di daerah-daerah yang relatif saling berjauhan, sementara akses pemanenan, pengangkutan nira ke pabrik yang cukup jauh dan sulit, manajemen bahan baku, kelembagaan petani, dan seterusnya belum siap untuk mendukung industrialisasi Aren. Bisa dikatakan bahwa Pabrik Gula Aren Tomohon (PT Masarang) ini sedang macet, atau tidak berjalan sebagaimana mestinya.


Rupanya karakteristik Nira Aren yang akan mengalami fermentasi dalam waktu cepat ini belum sepenuhnya dapat diatasi. Yang sangat sulit sebenarnya penanganan pada tingkat petani tadi. Karena keterbatasan sarana, jarak antar pohon yang relatif saling berjauhan, membuat petani tidak bisa menjaga mutu nira yang dikehendaki pabrik. Akhirnya pabrik harus merancang alat yang tahan terhadap bahan baku dengan kadar asam yang cukup tinggi karena nira sudah mengalami fermentasi.


Memang semestinya Pabrik Pengolahan Nira Aren sudah dirancang untuk beberapa keungkinan tersebut sehingga Pabrik itu mempunya unit-unit lengkap sebagai berikut :

1. Pos-pos pengolahan dan pengumpulan nira dengan pre treatmennt.

2. Tangki-tangki penyimpanan nira sesuai dengan grade-grade (tingkatan) tertentu dari kualitas dan kadar keasamannya.

3. Alat-alat pengangkutan nira yang dilengkapi dengan sistem pemanas.

4. Pabrik pengolahan nira, juga memiliki unit-unit pengolah untuk beberapa jenis/ grade bahan baku :

a. Unit Gula Aren Cetak

b. Unit Gula Aren Semut

c. Unit Gula Aren Putih

d. Unit Gula Aren Cair (Syrup)

e. Unit Syrup Aren Asam (Saguer)

f. Unit Bioethanol

g. Dll.


Jadi seolah-olah langkah itu menjadi mundur sedikit, sebabnya yang utama adalah belum terbangunnya sistem perkebunan yang terintegrasi dengan pabrik pengolahannya. Oleh karena itulah, ini peluang bagi daerah yang ingin menjadi iconnya Aren Nasional agar dapat menyiapkan pola pengembangan Aren yang terintegrasi.


Paling tidak ada 3 (tiga) hal awal yang harus disiapkan, yaitu :

  1. Membuat Pusat Pembibitan Aren yang kredible.
  2. Menciptakan kelembagaan para pelaku usaha bisnis Aren dari awal-awal pengembangan.
  3. Membangun perkebunan Aren modern yang terintegrasi dengan pembangunan pabrik pengolahannya.


Untuk pendapat ini Pak Ocop sangat setuju dan akan melakukan persiapan-persiapan yang nyata demi berkembangnya Agribisnis Aren untuk kesejahteraan, khususnya bagi Provinsi Kalimantan Timur dan umumnya untuk skala Nasional Indonesia Raya tercinta. Amin.

Selasa, 21 April 2009

PENERAPAN CORPORATE FARMING UNTUK PETANI PERAJIN GULA KELAPA RAKYAT





PENERAPAN CORPORATE FARMING UNTUK PETANI PERAJIN GULA KELAPA RAKYAT

Oleh : Dian Kusumanto

 Pada tulisan terdahulu kita menganggap bahwa suatu keharusan atau wajib hukumnya untuk merevolusi atau merevitalisasi industry gula aren rakyat. Dengan perubahan-perubahan pola usaha ini diharapkan akan dinikmati oleh para perajin atau petani gula aren. Sebenarnya hal ini juga berlaku untuk industry rakyat di luar komoditi aren, misalnya industry rakyat gula kelapa ataupun gula siwalan atau lontar, yang selama ini keadaannya masih rentan terhadap perubahan iklim usaha dan persaingan usaha masa yang akan dating.

 Merevolusi artinya melakukan perubahan dengan mendasar dan menyeluruh dalam waktu yang relative singkat. Merevitalisasi artinya membuat, mengkondisikan, merubah dari yang dulunya lemah dan rentan terhadap cuaca usaha menjadi kuat dan tahan terhadap segala keadaan. Perubahan-perubahan yang kita inginkan adalah perubahan yang menjadikan industry rakyat ini menjadi lebih efisien, lebih berdaya saing, mampu menembus pasar yang lebih luas, sehingga memperoleh nilai tambah bagi tingkat pendapatan dan kesejahteraan para pelaku usaha industry gula rakyat. Apa saja perubahan yang harus dilakukan agar tujuan perubahan itu tercapai ?  

 Pertama adala merubah pola invidual kearah corporate, artinya para perajin atau petani jangan sendiri-sendiri lagi dalam mengelola industry gula rakyat ini. Merubah budaya saling bersaing menjadi saling bekerja sama. Budaya saling bersaing dan saling menghancurkan ini memang sengaja diciptakan oleh oknum-oknum yang memanfaatka keadaan bagi kepentingannya sendiri.

 Untuk menyamakan persepsi diantara para perajin, kemudian bersepakat membentuk kelompok (korporasi) atau dalam bentuk koperasi, memerlukan keberanian, kecerdasan dan energy ekstra besar. Pemberian pemahaman tentang perlunya berkorporasi menjadi agenda yang secara konsisten harus dilakukan. Maka diperlukan ketokohan, kepeloporan dari salah satu atau beberapa orang di antara mereka.  

 Bila di suatu sentra ada sekitar 10 perajin, maka apabila dihitung dengan keluarganya sudah terkumpul sekitar lebih dari 20 orang. Dengan 20 orang kita sudah bisa membentuk Koperasi. Memang koperasi dibentuk dengan spirit untuk saling bekerja sama, saling bersatu menguatkan barisan, mengumpulkan modal untuk mengatasi masalah bersama dan mencapai tujuan bersama.  

  Contohnya begini, pada saat penulis mampir ke Pondok Nongko Desa Sobo di Banyuwangi yang merupakan salah satu sentra perajin gula kelapa. Setiap perajin gula merangkap sekalian menjadi penderes atau penyadap, yang bekerja memanjat, memungut air nira sekaligus juga memasak nira menjadi gula. Kebanyakan para perajin adalah bukan pemilik pohon, perajin melakukan kerjasama dengan pemilik pohon dengan system bagi hasil.



 Untuk kerja sama ini perajin berkewajiban untuk mengelola pohon kelapa untuk produksi gula. Setiap seorang perajin biasanya bisa menyadap pohon kelapa hingga mencapai 50 – 60 pohon kelapa , tergantung kesepakatan dengan pemilik pohon. Setiap perajin mempunyai suatu tungku sendiri untuk mengolah nira menjadi gula merah. Segala kebutuhan bahan bakar, tenaga untuk pengolahan gula, tenaga untuk memasarkan gula dan lain-lain dikelola secara sendiri-sendiri oleh petani atau perajin.

 Demikian juga yang terjadi pada perajin gula Aren rakyat di Bulukumba Sulawesi Selatan dan sekitarnya. Setiap perajin gula adalah pemilik pohon aren itu sendiri. Setiap perajin rata-rata mengelola antara 4 sampai 10 pohon Aren dan satu tungku pemasakan gula aren. Pekerjaan ini biasanya juga melibatkan anggota keluarga yang lain. Keadaan pola usaha yang individual ini terjadi juga di daerah lain sentra-sentra produksi gula aren.  

Seperti juga perajin gula kelapa, petani sekaligus perajin gula aren juga melakukan usahanya secara sendiri-sendiri. Segala kesibukan mulai memanjat pohon, memungut nira, memelihara sadapan dan pohon aren sampai kepada mengolah nira menjadi gula, mencari kayu bakar untuk tungku pemasakan bahkan melakukan pengemasan dan pemasaran produk gula aren.

  Untuk menuju efisiensi usaha gula aren rakyat, usaha gula kelapa rakyat dan usaha gula berasal dari pohon lontar (gula lontar atau gula siwalan), maka kita harus meninggalkan pola usaha individual dengan skala yang kecil-kecil. Para perajin harus bersatu, saling bekerja sama, menerapkan pola korporasi, menggunakan alat pengolahan dengan teknologi yang memadai. Para perajin harus mengikis kepentingan-kepentingan individual yang saling merugikan, namun sebaliknya harus saling bersatu guna mengatasi problema atau kendala-kendala yang mungkin saja timbul dalam usaha gula rakyat ini.

Meraih keuntungan-keuntungan berkoporasi

  Dengan berkoporasi banyak hal keuntungan nilai tambah yang dapat diperoleh. Nilai tambah dan keuntungan yang dapat diperoleh antara lain adalah :

1. Kapasitas alat pengolahan menjadi lebih besar lebih modern, karena memang didesign mampu menampung dan mengelola produksi dari para anggotanya.

2. Efesiensi bahan bakar, karena menggunakan tungku atau alat yang hemat energy. 

3. Efesiensi tenaga kerja pemasak gula, petani atau perajin mempunyai waktu luang lebih banyak untuk kepentingan-kepentingan yang lain.

4. Mutu produk dapat dengan mudah ditingkatkan, karena tempat dan kondisi pengolahan diciptakan sedemikian rupa sehingga tingkat hieginitas, pengontrolan mutu gula bisa diatur dengan lebih baik.

5. Variasi produk dengan ciri khas kemasan lebih bagus, tidak saja berbentuk gula cetak, tapi sudah bervariasi dengan gula serbuk atau gula cair (gula syrup).

6. Bisa membentuk badan usaha koperasi atau yang lain, karena yang terlibat ada sekitar 20 orang.

7. Ada peluang lebih besar untuk mengakses bantuan modal dari Bank atau sumber financial lainnya. Bank lebih percaya pada usaha yang berbentuk badan usaha dari pada perorangan.

8. Ada peluang untuk memperoleh perhatian dan kerjasama dari pemerintah atau lembaga-lembaga yang lain. Apalagi setelah korporasi ini berjalan dengan baik dan mampu member nilai lebih kepada para anggotanya.

9. Dengan perbaikan alat dan tungku pengolahan gula, usaha gula rakyat berpeluang menghasilkan produk tambahan berupa arang dan asap cair, yang nilai penjualannya bisa melebihi produk gula itu sendiri. Alat dan model tungku bisa didesign sendiri dibuat sendiri atau bekerja sama dengan bengkel setempat menggunakan contoh-contoh teknologi tungku yang ada. Asap cair banyak dibutuhkan untuk pengawetan produk-produk pertanian, perkebunan, perikanan dan makanan olahan. Asap cair juga diperlukan untuk para petani untuk pengganti pestisida kimia yang membahayakan kesehatan, untuk para petani ikan untuk membasmi penyakit ikan di kolam, dll.

10. Dll.


Contoh 1 : Koperasi Gula Kelapa rakyat (saran untuk petani perajin gula kelapa di Pondok Nongko Banyuwangi)

Korporasi itu mungkin saja berbentuk koperasi Gula Rakyat, yang dibentuk atas dasar kemauan anggota yang mungkin saja terdiri dari 10 orang perajin atau penyadap, 5-10 orang pembantu perajin atau penyadap dan 5-10 orang pemilik pohon. Dengan minimal 20 orang anggota bisa dibentuk sebuah koperasi perajin gula rakyat. 

Pohon kelapa yang dikelola untuk gula sekitar 500 pohon (50 pohon/penyadap x 10 penyadap), dengan produksi nira sekitar 1.500 liter per hari (500 pohon x 3 liter/hari). Maka koperasi ini akan memproduksi gula kelapa sekitar 300 kg/hari ( 1.500 liter/hari : 5 liter/kg gula), dengan harga gula kelapa Rp 5.000 /kg maka pendapatan kotor koperasi yang berasal dari penjualan gula adalah Rp 1,5 juta per hari atau Rp 45 juta per bulan.

Tungku dan alat pengolahan gula sudah diperbaiki agar memungkinkan penghematan bahan bakar berupa kayu, sekam atau limbah gergajian, dll. Biasanya setiap perajin memerlukan kayu bakar sekitar 1 truk untuk memasak selama 10 hari, berarti kalau 10 perajin diperlukan 1 truk kayu bakar per hari. Korporasi yang mengelola hasil nira dari 10 perajin ini, dengan alat dan tungku hemat energy ini hany memerlukan sekitar 50 % bahan bakar yaitu 1 truk untuk sekitar 2 hari. Kalau 1 truk beratnya sekitar 2-3 ton, maka setiap hari hanya separuhnya, yaitu sekitar 1 sampai 1,5 ton kayu bakar.  

Harga kayu bakar berupa kayu limbah gergajian ini di tingkat perajin gula kelapa di Banyuwangi seharga Rp 375.000 per truk. Kalau penghematan bisa mencapai 50 % saja berarti ada penghematan sekitar Rp 187.500 per hari atau senilai Rp 5.625.000 per bulan, atau Rp 67.500.000 dalam setahun.

Penghematan tenaga kerja perajin yang dulunya diperlukan 10 orang atau lebih dalam mengelola gula secara individual, menjadi atau cukup dengan 2-3 orang saja. Berarti bisa dihemat tenaga sekitar 7-8 orang. Nilai penghematan itu sekitar Rp 200.000 per hari, atau Rp 6 juta/ bulan atau 72 juta per tahun. Jadi dari bahan bakar dan tenaga olah gula bisa dihemat sekitar Rp 140 juta per tahun. Kalau anggota koperasi ada 20 orang berarti pendapatan tambahan dari penghematan bahan bakar dan tenaga olah saja sekitar Rp 7 juta / tahun / anggota. Lumayan bukan?!

Belum lagi bila tungku diatur sedemikian rupa sehingga memungkinkan untuk selain memasak gula, juga menghasilkan arang (kayu, sekam, dll.) dan asap cair. Misalnya diasumsikan 1 kg arang dapat dibuat dari 4 kg kayu, dan 1 liter asap cair dapat dihasilkan dari 5 kg kayu, kalau setiap hari menghabiskan 1 ton kayu maka akan dihasilkan arang sekitar 250 kg dan asap cair sekitar 200 liter. Ini asumsi yang masih sangat kasar, angkanya bisa dikoreksi, bisa berkurang atau bertambah.

Produk samping yang dulu tidak kita pikirkan sekarang menjadi sumber pendapatan samping baru. Lalu berapa penghasilan tambahan dari arang dan asap cair ini ? Yang kita tahu sekarang ini adalah harga asap cair yang dibuat dari batok atau tempurung kelapa senilai antara Rp 7.000 – Rp 20.000 per liter, katakanlah Rp 10.000 per liter, maka nilai asap cair 200 liter itu adalah Rp 2 juta per hari. Kalau arang bisa dijual dengan harga Rp 1000 per kg, maka dari arang mendapat tambahan Rp 250.000 per hari. Berarti dari arang dan asap cair ada penghasilan sekitar Rp 2.250.000 per hari, atau Rp 67,5 juta per bulan, atau Rp 810 juta per tahun.

Nilai tambahan penghasilan dari produk arang dan asap cair ini memang sangat fantastic, maka sayang kalau tidak dimanfaatkan. Kalau dibagi kepada 20 orang anggotanya, maka rata-rata per orang akan mendapatkan tambahan penghasilan sebesar Rp 40,5 juta per tahun. Dengan penghematan bahan bakar dan tenaga tadi, maka dengan menerapkan pola korporasi ini ada peluang peningkatan pendapatan sekitar Rp 47,5 juta per tahun per anggota korporasi. Nilai yang fantastic!!!

Bagaimana menurut Anda?


Kamis, 08 Januari 2009

Orean Pandak, Sorgum Unggul dari Tuban

Orean Pandak, Sorgum Unggul  dari Tuban

Oleh : Dian Kusumanto

Di beberapa wilayah Kabupaten Tuban Sorgum tidak asing lagi. Petani di Tuban menyebutnya sebagai tanaman Orean, wah keren juga namanya. Orean atau Sorgum ini ditanam layaknya Jagung, karena bentuk batang dan daunnya sangat mirip dengan Jagung. Ada juga petani yang menyebut sebagai Jagung Canthel. Jadi Orean dan Jagung Canthel adalah sama yaitu Sorgum kalau dalam bahasa Indonesia.

Sorgum di Tuban ditanam di daerah-daerah yang bergunung-gunung di ladang-ladang atau lahan kering yang sistem pengairannya belum ada. Sorgum masih mampu hidup dan berbuah meskipun tanaman lainnya seperti Jagung, Kacang Tanah tidak mampu. Sorgum mampu hidup karena sistem perakarannya lebih dalam dibanding Jagung, Kacang ataupun tanaman lainnya.

Menurut Pak Sogi petani di Desa Boto Kecamatan Semanding Tuban, ada setidaknya 3 (tiga) jenis Sorgum di Desanya. Petani disana menyebutnya Orean Teteg, Orean Benthung dan Orean Pandak. Orean Teteg dan Orean Pandak warna buahnyanya putih, sedangkan Orean Benthung warna buahnya Hitam demikian juga pada bagian batang dan tulang daunnya ada warna hitamnya.

Orean Teteg dan Orean Pandak rasanya agak manis. Orean Teteg buahnya mudah terlupas dan mudah rontok, serta hasil biji buahnya agak sedikit. Sedangkan Orean Pandak hasil biji buahnya lebih banyak atau bahkan paling banyak diantara 3 jenis Orean ini. Sedangkan Orean hitam si Orean Benthung ini mempunyai sifat yang berbeda yaitu biji buahnya paling susah dirontokkan dan paling susah dikupas kulitnya. Apabila ditumbuk Orean Benthung ini paling lama dan paling susah. Oleh karena itu yang paling populer dan disenangi petani adalah Orean Pandak, karena hasilnya paling banyak dan mudah ditumbuk dan tidak gampang rontok.

Di tingkat petani harga Orean glondongan, yaitu yang belum ditumbuk antara Rp 1.000 sampai Rp 1.500 per kg. Sedangkan harga Orean ang sudah terkelupas kulitnya atau sedring disebut beras Orean sekitar Rp 3.000 per kg. Di Tuban belum dikenal alat untuk pengolahan atau alat pecah kulit dan sosoh biji Sorgum ini. Ini yang menjadi kendala pengembangannya, karena petani merasa sangat berat kalau harus menumbuk dengan lumpang dan palu secara tradisional. Upah untuk menumbuk ini sudah mahal sehingga kalau harus diupahkan maka petani merasa rugi. Oleh karena itu pekerjaan menumbuk harus dilakukan sendiri oleh anggota keluarga sehingga petani tidak mengeluarkan biaya upah untuk menumbuk Sorgum.

Luas areal Sorgum ini tidak terlalu luas, karena petani memang tidak berorientasi sebagai komoditi yang dikembangkan besar-besaran. Keadaan ini disebabkan karena pengolahan paska panennya yang masih tradisional dan memerlukan biaya yang cukup besar sehingga belum ekonomis.  

Pengadaan alat pengupas Sorgum bagi masyarakat Tuban sangat diperlukan jika seandainya Sorgm akan dikembangkan lebih luas lagi. Seandainya alat itu ada, menurut Pak Sogi, maka petani akan senang mengembangkannya. Apalagi kalau ada yang menampung dengan harga yang cukup. Sekarang ini belum ada pedagang yang tertarik menjadikan komoditi perdagangan karena jumlahnya yang masih sedikit.

Sorgum sebenarnya bisa menjadi alternatif pada saat musim kemarau yang panjan terjadi dan keadaan iklim tidak menentu. Pada saat seperti itu komoditi lain seperti Jagung, Kacang-kacangan biasanya tidak sukses, maka Sorgum ini bisa diandalkan dan tetap masih dapat menghasilkan. Maka dari itu petani masih tetap menanam meskipun dalam jumlah yang tidak terlalu luas.

Sorgum banyak diolah menjadi bahan pangan berupa jajanan lokal seperti lopis, cenil, dll. Tepung Sorgum sebenarnya lebih bergizi dibandingkan Jagung ataupun beras ketan. Tepung Sorgum bersifat pulut karena mengandung gluten, yang sebenarnya berpotensi untuk bahan kue-kue dan bahkan roti. Tepung Sorgum bisa mensubstitusi Tepung Terigu untuk bahan pembuatan roti.  

Daun, batang dan biji buahnya semua bisa dijadikan bahan pakan yang sangat bermutu, lebih tinggi kandungan gizinya dibandingkan dengan Jagung. Bila untuk pakan ternak seperti sapi, kambing dan yang lainnya dapat berpengaruh lebih baik pada peningkatan produksi dagingnya. Artinya Sorgum akan sangat menguntungkan untuk berternak Sapi, Kambing, Kerbau dan lain-lain.

Bisa dikatakan Orean Pandak adalah jenis Sorgum yang banyak ditanam di Tuban dan dianggap yang paling unggul di daerah Tuban.  Bagaimana menurut Anda?


Jumat, 02 Januari 2009

Mengawal Kebijakan Nasional Sektor Pertanian


Mengawal Kebijakan Nasional Sektor Pertanian 

oleh : Dr. Iman Sugema (Anggota Dewan Penyantun PPSDMS Regional 5 Bogor)


Agriculture (pertanian) merupakan induk dari semua seni untuk menerapkan pengetahuan (mother of all arts). Karena pengetahuan yang dimiliki manusia harus dihadapkan dengan tanah dan lingkungan tempat kita hidup. Pengetahuan kita tidak hanya bersifat spekulatif untuk memuaskan rasio, namun harus dipastikan bermanfaat untuk pengembangan kualitas hidup manusia. Penguasaan teknologi sebagai derivasi dari pengetahuan juga harus dikawal agar memberi kontribusi positif bagi pemantapan eksistensi manusia. Bukan sebaliknya, pengetahuan dan teknologi dapat menggeser harkat kemanusiaan sebagaimana terjadi di dunia modern. Kemajuan di dunia pertanian menjadi tantangan tersendiri bagi generasi muda yang akan berperan sebagai pemimpin masa depan.

Sektor pertanian dalam konteks pembangunan nasional dapat dikembangkan dan harus didukung sepenuhnya dari luar. Tak bisa hanya mengandalkan inisiatif dari dalam (struggle from within). Karena kita tahu bahwa kondisi petani amat rentan dan lahan pertanian yang tersedia semakin kritis, kalah bersaing dengan pertumbuhan industri dan pemukiman manusia. Padahal, kita sering menyebut diri sebagai bangsa agraris. Apakah lahan pertanian kita cukup luas dan atraktif untuk mengakomodasi tenaga kerja baru? Apakah produktivitas pertanian kita cukup andal untuk mendukung ketahanan pangan nasional? Pertanyaan-pertanyaan fundamental itu perlu dijawab oleh mereka yang bercita-cita untuk mengembalikan masa kejayaan sebagai bangsa agraris.

Patut diingat, di era globalisasi saat ini sesungguhnya ada tiga industri yang memiliki prospek paling terbuka di masa mendatang, yaitu industri makanan (food), bahan bakar (energy), dan keuangan (finance). Ketiga bidang inilah yang menguasai hajat hidup manusia sedunia. Industri makanan kita lihat bisa tetap eksis, meskipun krisis ekonomi datang bertubi-tubi. Para pedagang informal di pelosok kota kebanyakan bergerak di bidang penjualan makanan, minuman dan camilan (food and beverage). Kenaikan harga pangan dunia, seperti beras dan jagung, menimbulkan kegelisahan di berbagai negara karena ketersediaan pangan sangat mempengaruhi kelangsungan sebuah rezim pemerintahan.

Komoditas lain yang sangat strategik adalah energi. Kini negara-negara di seluruh dunia sedang mengalami paranoia akibat kelangkaan energi berbahan bakar fosil (minyak bumi). Harga minyak dunia telah mencapai titik psikologis US$ 100 per barrel, bahkan ada yang meramalkan akan menembus angka US$ 200 per barrel. Karena itulah, sejumlah negara kemudian mencari energi alternatif, antara lain biofuel. Akan tetapi, tindakan itu akan membuahkan resiko terjadinya kelangkaan komoditas pangan atau kerusakan lingkungan, karena biofuel dihasilkan dari pengolahan getah jarak atau minyak kelapa sawit, atau singkong dan jagung yang menjadi bahan dasar ethanol.

Dalam sektor keuangan, Indonesia pernah menelan pil pahit di masa krisis 1997. Sampai sekarang tampaknya pemegang otoritas keuangan belum belajar banyak untuk membangun fundamental ekonomi yang benar-benar kokoh. Kita sebenarnya memiliki tingkat tabungan (saving) yang cukup tinggi di dunia, yakni sekitar 37%. Artinya, negara kita tidak bisa dibilang kekurangan uang, namun pemerintah salah dalam mengelola uang. Banyak sektor nonproduktif yang dibiayai negara, sementara sektor yang berhubungan langsung dengan penguatan ekonomi rakyat sering terabaikan. Lihat saja, kredit yang mengalir deras untuk menyelamatkan dunia perbankan berupa Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) dan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang akhirnya macet. Sementara kredit yang disalurkan kepada petani dan nelayan miskin atau usaha kecil dan menengah (UKM) tak seberapa besar, dengan birokrasi yang berbelit-belit.

Keuangan negara juga tersedot habis untuk membiayai gaya hidup para pejabat tinggi di tingkat pusat dan daerah. Tanpa rasa malu mereka memenuhi seluruh fasilitas pejabat, mulai dari pakaian, perumahan, dan kendaraan, sementara jutaan rakyat miskin menanti kematian karena kelaparan atau kekurangan gizi. Salah urus keuangan negara harus segera dihentikan dan diperbaiki, bila tak ingin negara ini mengalami kebangkrutan karena pemborosan belanja elite penguasa. Lalu, dengan alasan anggaran yang terbatas, maka rakyat harus berkorban dengan pengurangan subsidi dan fasilitas minim di bidang kesehatan, pendidikan dan infrastruktur publik. Ironi besar di tengah negeri yang konon “gema ripah loh jinawi”.


Kita harus mengantisipasi kemungkinan krisis pangan di masa datang, sebab komoditas pangan saat ini diperebutkan oleh sekurang-kurangnya tiga sektor lain, yakni untuk pangan manusia (food), pakan hewan (feed), dan energi minyak (fuel). Untuk itu diperlukan kebijakan ketahanan pangan yang konsisten dengan basis kebijakan nasional di sektor pertanian. Produksi padi nasional tahun 2008, menurut Badan Pusat Statistik (BPS), diperkirakan 58,2 juta ton GKP. Sementara Departemen Pertanian memproyeksikan produksi hanya 54,4 juta ton GKP. Perbedaan data seperti itu acap terjadi, sehingga mempengaruhi kebijakan yang akan ditempuh pemerintah.

Sementara itu, konsumsi beras nasional diperkirakan 2,6 juta ton per bulan atau sekitar 31,2 juta ton per tahun. Dengan kata lain, kita mengalami surplus beras, tapi mengapa masih terdengar di sejumlah daerah ada rakyat yang makan nasi aking atau bahkan menemui kematian karena kelaparan? Berarti ada masalah dengan manajemen produksi dan distribusi pangan yang tidak merata di seluruh Tanah Air. Juga, ada problem diversifikasi pangan yang lamban, sementara tidak semua penduduk Indonesia saat ini memakan beras.

Banyak orang menganggap bahwa masalah pertanian ialah karena pendidikan petani yang rendah. Tetapi kenyataannya kita melihat, saat keluarga petani diberi pendidikan tinggi, malah tidak ada yang mau jadi petani. Karena anak-anak petani gengsi untuk melanjutkan profesi keluarganya yang terkesan kumuh. Kita harus mengubah citra pertanian yang buruk itu. Menjadi petani juga bisa makmur dan sejahtera, termasuk pilar penting kemakmuran bangsa. Mengubah citra petani memerlukan kebijakan radikal dalam reforma agraria dan keuangan nasional, sehingga revitalisasi pertanian bukan sekadar kata-kata.

Masalah pertanian kita memang karena sebagian besar petani memiliki pendidikan setingkat SD ke bawah, yakni sebesar 67%. Sehingga alih teknologi sangat sulit dilakukan. Tetapi, kita harus terus memacu semangat dan bangga terhadap dunia pertanian, karena inilah masa depan sesungguhnya bagi bangsa kita. Nenek-moyang kita adalah petani yang menghidup-suburkan negeri ini.

*) Disarikan dari ceramah umum yang disampaikan dalam seminar kepemimpinan “Boost Your Leadership Skill” di kampus IPB, pada 20 April 2008

Sumber :  http://ppsdms.org/mengawal-kebijakan-nasional-sektor-pertanian.htm

Pemanfaatan Ampas Singkong Menjadi Makanan Bernilai Gizi

Pemanfaatan Ampas Singkong Menjadi Makanan Bernilai Gizi

by vidya eka y

Filed under: Agro TechnoPark, Ekologi Pekarangan, Tek. Pengelolaan Limbah  


Singkong

Singkong atau tapioka merupakan bahan pangan yang banyak diproduksi di Indonesia. Indonesia termasuk sebagai negara penghasil ubi kayu terbesar ketiga (13.300.000 ton) setelah Brazil (25.554.000 ton), Thailand (13.500.000 ton) serta disusul negara-negara seperti Nigeria (11.000.000 ton), India (6.500.000 ton) dari total produksi dunia sebesar 122.134.000 ton per tahun.


Singkong merupakan umbi atau akar pohon yang panjang dengan fisik rata-rata bergaris tengah 2-3 cm dan panjang 50-80 cm, tergantung dari jenis singkong yang ditanam. Daging umbinya berwarna putih atau kekuning-kuningan. Umbi singkong tidak tahan simpan meskipun ditempatkan di lemari pendingin. Gejala kerusakan ditandai dengan keluarnya warna biru gelap akibat terbentuknya asam sianida yang bersifat racun bagi manusia.

Umbi singkong merupakan sumber energi yang kaya karbohidrat namun sangat miskin protein. Sumber protein yang bagus justru terdapat pada daun singkong karena mengandung asam amino metionin. Dari proses pengolahan singkong menjadi tepung tapioka, dihasilkan limbah sekitar 2/3 bagian atau sekitar 75% dari bahan mentahnya.



Selama ini orang hanya memanfaatkan daging singkong sebagai bahan pangan, namun limbahnya tidak diolah kembali. Bagi kebanyakan orang limbah tapioka hanyalah sampah dan polutan yang mencemari lingkungan. Limbah tapioka oleh para petani hanya digunakan sebagai pakan ternak atau dibuang begitu saja ke sungai atau parit-parit. Hal tersebut dapat membahayakan lingkungan karena dapat merubah kandungan oksigen di air menjadi berkurang.

Dengan inovasi teknologi yang diterapkan, limbah tapioka ini dapat diolah lebih lanjut dan dimanfaatkan sebagai bahan pangan produk nata yang berbahan dasar ampas singkong. Dimana Indonesia merupakan penghasil singkong terbesar ketiga di dunia (13.300.000 ton/tahun). Sehingga untuk ketersediaan bahan baku, nata dari ampas singkong ini tidak akan menjadi masalah. Seperti nata de coco, yang selama ini telah beredar di pasaran dan banyak digemari masyarakat, diharapkan produk nata dari ampas singkong ini dapat menjadi sumber alternative bahan pangan untuk masyarakat dengan penciptaan nilai tambah pada limbah tapioca yang sangat berlimpah daripada hanya dibuang begitu saja ke lingkungan atau hanya digunakan sebagai pakan ternak saja.


Nata merupakan produk fermentasi dari bakteri Acetobacter xylinum yang berupa lembaran selulosa dari pengubahan gula yang terdapat pada substrat (umumnya air kelapa tetapi dapat pula dari bahan lain) menjadi pelikel selulosa. Nata ini kandungan utamanya adalah air dan serat sehingga baik untuk diet dan sering digunakan dalam pembuatan dessert atau sebagai tambahan substansi pada koktail, es krim dan sebagainya. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pembuatan nata di antaranya adalah bakteri, gula dan nitrogen, selain itu harus pula diperhatikan suhu dan pH serta jangan tergoyanng agar pembentukan pelikel berlangsung baik.


Bakteri Acetobacter xylinum adalah bekteri Gram negatif yang dapat mensintesis selulosa dari fruktosa. Selulosa ini memiliki pori melintang pada kristal mini glukan yang kemudian terkoalisi ke dalam mikrofibril. Cluster mikrofibril yang ada dalam struktur senyawa yang terbentuk seperti pita-pita dapat diamati secara langsung dengan menggunakan mikroskop. Acetobacter xylinum merupakan suatu model sistem untuk mempelajari enzim dan gen yang terlibat dalam biosintesis selulosa. Jumlah inokulum yang diberikan 10 – 20 % dari bakteri umur 6 hari

Pembuatan nata dari ampas singkong ini memerlukan serangkaian proses. Proses pertama adalah pemarutan singkong, singkong yang telah dikupas dan dicuci bersih kemudian diparut. Hasil parutan singkong ini kemudian dilarutkan ke dalam air untuk mendapatkan pati singkong. Dari hasil perasan singkong kemudian didapatkan pati singkong. Ampas singkong kemudian diambil dan difermentasi. Hasil fermentasi ampas singkong atau tapioca ini kemudian ditutup untuk meminimalkan kontak dengan udara dan didiamkan selama sepuluh hari. Produk nata ini siap untuk dikonsumsi.

Setiap satu kilogram ampas singkong, setelah diproduksi menjadi lima kilogram lembaran nata. Selain bernilai ekonomis, produk nata dari singkong baik untuk kesehatan. Produk nata yang dihasilkan berserat tinggi, sehingga dapat membantu melancarkan pencernaan. Namun, pembuatan nata ini membutuhkan waktu yang lebih lama untuk hidrolisis karbohidrat menjadi gula melalui proses fermentasi. Produk nata dari singkong ini mengandung gula 5-7 % sehingga tidak diperlukan penambahan gula kembali. Selama ini pembuatan nata de coco masih membutuhkan penambahan gula, sehingga untuk skala produksi nata dari ampas singkong ini lebih ekonomis dan efisien. Selain itu nata yang dihasilkan lebih kenyal, tebal dan lebih putih.

Upaya pengolahan ampas singkong menjadi suatu makanan bernilai gizi ini dapat membantu mengurangi pencemaran lingkungan oleh limbah atau proses samping dari singkong yang selama ini hanya dimanfaatkan oleh petani sebagai pakan ternak atau dibuang begitu saja ke sungai atau parit. Selain itu upaya pengelolaan ampas singkong ini dapat menghasilkan produk makanan yang benilai gizi bagi masyarakat