........Selamat Hari Jadi Kab. Nunukan ke 13 tgl 12 Oktober 2012.......

Minggu, 20 September 2009

MERANCANG KOMODITI UNGGULAN DAERAH YANG PRO RAKYAT (AREN, SINGKONG DAN SAPI)


MERANCANG KOMODITI UNGGULAN DAERAH YANG PRO RAKYAT (AREN, SINGKONG DAN SAPI)

Oleh : Dian Kusumanto

Pembangunan yang pro rakyat menjadi isu dan topik hangat menjelang pemilu pilpres yang baru lalu. Neoliberalisme seolah menjadi musuh yang harus dienyahkan dalam era pembangunan yang akan datang. Semua kandidat dengan getol mengajukan konsep pembangunan yang pro rakyat dan tidak mau disebut sebagai agen Neolib, Neo Liberalisme.

Namun sampai sekarangpun , setelah usai pemilu dan pemenang sudah disahkan, belum ada yang mengajukan konsep yang jelas bagaimana penbangunan yang pro rakyat itu. Belum jelas pilihan komoditi apa yang menjadi unggulannya. Mereka seolah-olah lupa dengan isu yang dikembangkan dulu, tidak ada bekas-bekas jejaknya. Mereka semua lupa bahwa rakyat terus menunggu konsep itu segera dapat diaktualisasikan, diimplementasikan dalam program yang nyata.

Indonesia yang melimpah sumber daya alamnya, yang masih luas lahan–lahan yang tidak produktif, menunggu sentuhan program yang nyata, khususnya pembangunan ekonomi yang pro rakyat. Masalah pangan dan energi yang masih menjadi momok terjadinya krisis, perlu segera diatasi dipecahkan, sembari sekalian dengan paket pembangunan yang pro rakyat. Artinya pembangunan yang pro terhadap ekonomi rakyat sekaligus mengatasi masalah asasi dasar manusia, yaitu pangan & energi yang harus saling bersienergi. Alasan diatas lah yang melatarbelakangi penulis untuk menawarkan rancangan komoditi unggulan secara terpadu dengan pilihan pada komoditi AREN, SINGKONG & SAPI.

Alasan pemilihan komoditi .

Aren dipilih karena beberapa hal sbb :

1) Produktiffitasnya sangat mengagumkan, dibanding komoditi yang lain 

2) Pendapatan dari usaha harus komoditi Aren sangat tinggi dan mensejahterakan rakyat secara langsung. Aren memiliki daya ungkit ekonomi rakyat sangat hebat .
3) Aren sangat fleksibel, dapat ditanam dimana saja, khususnya dalam memanfaatkan lahan kurang produktif yang selama ini tidak digunakan oleh komoditi pangan lainnya.
4) Aren tanaman asli Indonesia, yang adaptasinya sangat luas, mudah dibudidayakan dan masyarakat sudah familiar.
5) Produk–produk tanaman Aren sangat banyak sehingga dapat memicu ekonomi kerakyatan tumbuh sangat beragam & luas
6) Produk–produk dari Aren dapat diarahkan kepada industri kerajinan rakyat, industri pangan, industri bidang energi, industri hilir yang sangan beragam.
7) Aren berpotensi menggantikan peran Tebu sebagai alternatif bahan baku produksi gula nasional dan produksi gula rakyat.
Dengan semakin menurunannya produkfitas tebu, semakin tuanya pabrik-pabrik gula, semakin berkurangnya daya dukung lahan, Aren menjadi alternatif yang paling masuk akal. Sehingga pada dasa warsa yang akan datang Aren dapat diandalkan untuk mengganti peran tebu pada industri gula Nasional.
8) Pengembangan perkebunan dan industri berbasis Aren akan dapat menyerap tenaga kerja lebih banyak, sehingga dapat di andalkan untuk penanganan masalah pengganguran.

9) Dan lain-lain. (selengkapnya dapat dilihat dalam http://kebunaren.blogspot.com)



Aren termasuk tanaman jangka panjang, karena umur mulai berproduksi adalah sekitar 6-7 tahun. Oleh karena itu perlu di kombinasi dengan komoditi jangka pendek yang cocok dipadukan dengan perkebunan Aren. Tanaman yang hebat itu adalah singkong. Singkong dapat ditumpangsarikan dengan Aren, dan sama sekali tidak akan mengganggu Aren, demikian juga sebaliknya. 

Kenapa memillih Singkong :
1) Singkong adalah komoditi yang strategis, karena produk-produk hilirnya sangat banyak dan dibutuhkan oleh industri-industri lainnya, baik industri pangan, industri kimia, manufaktur, produksi energi, dll.
2) Sebagai bahan pangan, produk dari singkong dapat menggantikan fungsi beras ( sumber karbohidrat ), fungsi tepung terigu ( yang masih net impor).
3) Budidaya tidak sulit, menyakut / petani indonesia sudah sangat femiliar dengan singkong.
4) Rekayasa peningkatan produkfitas singkong, masih sangat terbuka dan gampang untuk direalisasikan, teknologinya sudah tersedia, selain itu sumber plasma nutfah singkong juga melimpah sehinga memudahkan untuk merakit genetik yang unggul dan berproduksi tinggi.
5) Seperti Aren singkong juga dapat dijadikan program kemandirian energi rakyat di pedesaan.
6) Singkong selama ini juga sudah menjadi bahan baku pakan ternak andalan. Bahkan limbahnya dapat menghidupkan industri peternakan yang akan memacu ketersediaan daging dan susu untuk pangan, serta pupuk & pestisida organik bagi dunia argroestate selanjunya.
7) Dan lain-lain.

Sinergi antara perkebunan Aren dan singkong menjadi pilihan paling prospektif dan strategis di masa akan datang. Sambil menunggu masa mulai panennya Aren, Singkong sudah dapat dipanen setiap 8-10 bulan dan terus menerus beriringan dengan Aren pada lahan yang sama.



Dengan pembudidayaan singkong ditengah-tengah kebun Aren dapat memaksimal-kan sumber daya manusia dan lahan yang ada, sekaligus meminimalkan input sarana produksi dan biaya operasional tenaga kerja. Artinya sistem keterpaduan ini bisa menyebabkan efisiesi biaya, sdm & sda yang ada. Untuk meningkatkan nilai tambah komoditi singkong maka perlu dirancang berdirinya industri pengolahan singkong, seperti pabrik pengolahan tepung cassava, tepung mocaf, deksrin, HFS, dll.
Adanya industri-industri tadi akan sangat menghidupkan ekonomi di pedesaan, tenaga kerja akan banyak dibutuhkan, maka penggangguran akan dapat diatasi. Bahkan tenaga-tenaga kerja dari luar akan berdatangan. TKI yang keluar negeri dapat dikurangi, kerena di negeri sendiri sudah terbuka lapangan pekerjaan .

Lalu apa hubungan dengan Sapi ?
Sapi adalah salah satu hewan ternak yang sangat penting dan strategis. Sapi akan memanfaatkan limbah dari hasil panen dan limbah industri singkong menjadi sumber pakannya. Limbah dari singkong seperti daun, pucuk singkong, dan kulit luar singkong, adalah pakan yang murah dan gratis bagi Sapi.

Sapi sangat di perlukan untuk menyempurnakan sistem besar keterpaduan diantara perkebunan Aren, singkong dan industri ikutannya. Selanjutnya dari usaha ternak sapi akan dapat di hasilkan pupuk dan obat-obatan yang akan menunjang produktifitas dari aren dan singkong itu sendiri. Pupuk dan obat-obat hama akhirnya dapat dipenuhi sendiri oleh sistem tersebut. Maka sinergi ini akan menjadi sangat sempurna karena hampir tidak memerlukan lagi pupuk dari luar sistem. Bahkan pupuk dan obat hama ini akan berlebih dan kelebihannya akan dapat dijual keluar sistem menjadi suatu nilai tambah lainnya.

Nilai tambah berupa pupuk dan obat hama ini tentu saja akan dapat mendukung ketersediaan sarana produksi bagi usaha tani lainnya dengan biaya yang lebih terjangkau. Dengan teknologi pengolahan pupuk dan obat-obat nabati ini akan dapat memacu produksi tanaman pangan lainnya yang ada disekitar sistem tadi.

Proyeksi / gambaran produk dari sistem terpadu

Dengan asumsi lahan usaha terpadu seluas 50 ha, maka dapat dihitung sebagai berikut :

1) Aren 200 pohon / ha x 50 ha = 10.000 pohon.

Produksi nira : 10.000 pohon x 50% = 5.000 pohon siap produksi setiap hari.
Jika setiap pohon menghasilkan nira 15 liter/ pohon/ hari, maka akan dihasilkan nira sebanyak : 15 liter/hari x 5.000 pohon = 75.000 liter/ hari.
Jika diolah menjadi gula (dengan konversi nira gula = 7.5 liter/ kg gula.
Maka produksi gula = 75.000 liter/ hari : 7.5 liter/ kg.
 = 10.000 kg gula/ hari.
 = 10 ton gula/ hari atau 3.000 ton/ tahun (jika 300 hari kerja).

2) Singkong seluas 50 ha. 
Dengan masa budidaya hingga panen selama 10 bulan dengan produktifitas sebesar 50 ton/ hektar,
Maka produksinya = 50 ha x 50 ton/ ha /10 bulan
  = 2.500 ton / 10 bulan 
Atau 250 ton/ bulan.
Jika dala sebulan jumlah hari kerjanya 25 hari, maka panen singkong setiap harinya : 250 ton/ bulan : 25 hr kerja/ bulan = 10 ton/ hari kerja.
  
  10 ton singkong /hari akan menghasilkan :
 a). Tepung mocaf = 25 % x 10 ton/ hari = 2.5 ton/ hari
 b). Kulit singkong = 15% x 10 ton /hari = 1.5 ton/ hari
 c). Daun dan pucuk singkong = 50 % x 10 ton = 5 ton / hari.
  
 3) Sapi
  Jika keperluan pakan sapi sekitar 50 kg / ekor / hari 
  Maka dengan limbah berupa kulit dan daun sebesar 6.5 ton/ hari, dapat dipelihara sapi sebanyak = 6.500 kg/ hari : 50 kg/ hari/ ekor = 130 ekor.
   
 Jika masa penggemukan sapi dalam satu siklus selama 6 bulan, maka dalam setahun ada 2 siklus. Atau dalam setahun dapat dipelihara sebanyak 260 ekor Sapi. 
 
 Adapun hasil dari penggemukkan selama masa 6 bulan akan menghasilkan pertambahan daging sebanyak : 150 hari x 0.6 kg/ hari/ ekor = 90 kg /ekor.
 Jika harga berat hidup Sapi itu sebesar Rp 25.000 /kg BH, maka pendapatan kotor dari usaha penggemukan Sapi ini adalah = Rp 2.25 Juta/ ekor/ siklus.
 
 Kalau 260 ekor setahun artinya ada potensi keuntungan sebesar Rp. 585 Juta/tahun dari penggemukkan sapi.

Dengan bertambahnya umur aren, maka populasi dari singkong juga dikurangi. Berkurangnya luas penanaman singkong menyebabkan berkurang juga produksi tepung, di kurang jumlah pakan sapi sehingga jumlah sapi yang diipelihara juga dikurangi / luas lahan.

Adapun proyeksi populasi singkong yang di taman diantara pohon Aren adalah sbb.




 Adapun proyeksi nilai ekonomi pendapatan usaha terpadu volume 50 ha ini adalah sbb :





Hitungan di atas adalah untuk lahan seluas 50 ha saja. Atau yang biasa / harus di kelola oleh satu kelompok tani dengan jumlah anggota 25 orang (masing-masing petani rata-rata memiliki 2 ha lahan).


Kalau di suatu desa itu ada 500 ha berarti akan terbentuk 10 kelompok tani dengan anggota 250 orang atau 250 KK. Kalau lahan mencapai 1000 ha berarti ada 20 kelompok tani dengan anggota 500 orang atau 500 KK. Ini sudah memenuhi syarat untuk menjadi suatu Gapoktan atau gabungan kelompok tani. Dalam hal pengelolaan usahannya bisa di kembangkan menjadi suatu koperasi atau Badan Usaha Milik Petani (BUMP) atau dengan sebutan yang lain yaitu Badan Usaha Milik Desa (BUMD).

Dalam hal pengelolaan keuangan dari BUMP/ BUMD ini bisa juga di bentuk suatu Bank desa atau LKM (Lembaga Keuangan Mikro). Sebenarnya kalau dilihat dari volume uang yang akan berputar dari bisnis usaha tani terpadu ini sudah sanggat layak untuk menjadi sebuah BANK DESA, karena memang berada di desa, bukan lagi LKM. Sebab dana yang berkembang sudah sangat besar .




OMSET USAHA DAN PENGEMBANGAN

Dari bisnis tepung saja kalau 50 ha sudah ada omset Rp 2 Milyar/ tahun, berarti kalau 1.000 ha omset akan mencapai Rp 40 Milyar/ tahun. Belum lagi sapi yang bisa mencapai sekitar Rp 10 Milyar/ tahun, pupuk dan obat hama yang mencapai Rp 5 Milyar/ tahun. Apalagi bila aren sudah mulai produksi pada tahun ke 6-7, omset usaha terpadu di desa ini akan mencapai angka Rp 600 Milyar per tahun. Desa dengan pendapatan sebesar ini mustahil jika rakyatnya ada yang sangat miskin.

Proyeksi pendapatan jika luas areal lahan usaha 1.000 ha.
1. Tepung : Rp 40 M
2. Sapi : Rp 10 M
3. Limbah : Rp 5 M
4. Aren : Rp 600 M
Jumlah : Rp 655 M/ tahun

Untuk mengolah lahan 1.000 ha semua petani sudah dibuat sewa lahan, belum lagi untuk mengolah industri tepung yang mencapai rata-rata lebih dari 10.000 ton/ tahun, mengolah sapi lebih dari 4000 ekor, mengolah pupuk dan urine sapi dengan volume lebih dari 6.000 ton/ tahun.

Kesibukan itu akan bertambah pada saat aren sudah mulai berproduksi. Volume gula yang harus di kelola akan lebih dari 60.000 ton Gula/ tahun yang diolah dari nira sebesar 450.000.000 liter Nira/ tahun. Tentu saja ini akan mengundang tenaga kerja dari luar desa tersebut akan tejadi urbanisasi ke desa kebun aren dan singkong seluas 1.000 ha ini.


PROYEKSI KEBUTUHAN TENAGA KERJA

Berapa proyeksi kebutuhan tenaga kerja yang akan diserap untuk usaha terpadu dengan dukungan lahan kebun seluas 1.000 ha ini.

1) Kebun singkong 1 orang/ ha X 1.000 ha = 1.000 orang
2) Pengelolaan tepung singkong 2 orang/ 50 ha, kalau 1.000 ha kebun = 400 0rang
3) Perkebunan aren :
- pemeliharaan kebun : 500 orang
- panen nira 5 orang/ha : 5.000 orang
4) Pabrik pengolahan gula :
  - angkutan hasil kebun : 200 orang
  - pengolahan Gula : 500 orang
  - managemen kebun : 50 orang
  - managemen pabri : 50 orang
5) Koperasi :
  - Administrasi : 10 orang
  - Simpan pinjam/ bank desa : 10 orang
  - Tenaga lapangan koperasi : 10 orang
  - Tenaga pemasaran, dll : 10 orang
  - Dll : 20 orang
  Jumlah 7.860 0rang

Bagaimana menurut Anda??

Sabtu, 05 September 2009

Harga Gula Terus Meroket, Tertinggi dalam Sejarah

Harga Gula Terus Meroket,  Tertinggi dalam Sejarah

JEMBER - Harga gula di tingkat konsumen kian hari semakin tak terkendali. Tingkat kenaikan harga cukup tinggi dan terjadi secara cepat. Kemarin, harga gula sudah menembus angka kisaran Rp 9.400-9.500/kg. 

Tak pelak, masalah melonjaknya harga gula ini menjadi pembahasan serius pemerintah. Bahkan, pagi hingga sore kemarin, Menteri Perindustrian dan Perdagangan (Menperindag) melakukan pembahasan serius di Jakarta dengan melibatkan Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), Dewan Gula Indonesia (DGI), para Dirut PTP, Kementerian BUMN, Menkoekuin, dan PT RNI. 

"Kenaikan harga gula saat ini termasuk yang tertinggi dalam sejarah pergulaan Indonesia," ujar HM. Arum Sabil, ketua APTRI yang kemarin turut hadir dalam rapat membahas masalah melonjaknya harga gula.

Menurut Arum, harga gula tinggi karena persediaan gula tidak seimbang dibandingkan tingginya permintaan gula di pasaran. Selain itu, harga gula naik karena India sebagai pemasok gula mengalami gagal panen. Dampaknya, harga gula internasional naik. 

"Saat ini harga gula internasional mencapai 590 US dolar per ton. Bila dihitung, harga gula internasional sampai Indonesia sudah di atas Rp 8 ribu," ujarnya. Padahal sebelumnya, rata-rata harga gula internasional sampai Indonesia hanya kisaran Rp 6 ribu. "Bahkan bisa di bawah Rp 5.500," paparnya. 

Masih menurut Arum, kejadian ini tidak pernah terjadi sejak Indonesia merdeka. Bahkan, karena gagal panen, India justru mengimpor gula 6 juta ton. 

Terkait adanya spekulan yang bermain-main dengan kenaikan harga gula saat ini, Arum menjelaskan, hal itu kemungkinan kecil terjadi. Pasalnya, bila melihat jumlah stok gula nasional saat ini, tidak mungkin ada penimbunan gula. "Kita sudah melakukan investigasi bersama tim penyidik PNS dari perindustrian dan perdagangan," ujarnya. 

Dikatakan, stok gula nasional per 27 Agustus 2009, real masih 266.679 ton. "Stok tersebut masih mencukupi untuk kebutuhan satu bulan," ujarnya. Itu belum ditambah estimasi gula yang masih dalam proses produksi yang mencapai 862.484 ton. "Kalau ditambah yang belum digiling masih ada 762.828 ton. Ini hanya untuk wilayah Jawa," ujarnya. Arum mengestimasi, produksi gula nasional 2009 diperkirakan mencapai 2,9 juta ton. 

Terkait adanya industri makanan dan minuman yang selama ini menggunakan gula rafinasi berbahan raw sugar yang beralih ke gula lokal, hal itu justru perlu disambut baik. Kata Arum, itu menunjukkan, bila gula lokal ternyata bisa digunakan untuk bahan baku industri makanan dan minuman (mamin). "Selama ini industri makanan dan minuman beralasan impor gula dilakukan karena kualitas gula lokal dinilai tidak bagus untuk bahan baku industri mamin," ujarnya. Ternyata, ketika gula impor mahal, industri mamin beralih ke gula lokal. "Itu berarti, gula lokal sebenarnya bisa digunakan untuk industri mamin," paparnya

Dengan begitu, nantinya tidak ada alasan lagi bagi industri mamin untuk tidak menggunakan gula lokal ketika harga gula impor lebih murah. "Buktinya gula lokal juga bagus untuk bahan baku industri mamin," tegasnya.

Untuk itulah, sudah saatnya pemerintah lebih serius melakukan revitalisasi pabrik gula dan meningkatkan produksi demi swasembada gula. 

Arum menambahkan, bila mengacu tahun 2008, kenaikan harga gula memang cukup signifikan. Namun, melihat fakta di lapangan, kenaikan tersebut wajar terjadi karena harga gula internasional memang naik. "Namun jangan sampai kemudian pemerintah membuka kran impor sebesar-besarnya dengan memberlakukan tarif masuk nol persen," ujarnya. Sebab, bila hal itu dilakukan akan mematikan petani tebu di Indonesia. "Harapannya petani bisa happy, konsumen tidak diberatkan dengan harga gula yang tinggi," ujarnya.

Arum cemas, jika kondisi ini tidak terkontrol dan pemerintah mengeluarkan kebijakan panik, yang dirugikan justru petani. "Oleh karena itu, kami berharap semuanya bisa bersama-sama menciptakan iklim usaha yang kondusif. Petani happy, konsumen happy," ujarnya. 

Dengan kenaikan harga gula ini, kata Arum, petani sebenarnya bisa untung. Perkiraannya, biaya produksi petani paling tinggi mencapai Rp 6 ribu per kilogram. "Ini sudah royal," ujarnya. Sedangkan harga gula internasional sekitar Rp 8 ribu. "Jadi, harga gula impor masih tinggi dibandingkan harga gula petani. Dijual Rp 7 ribu saja, petani sudah untung," ujarnya. 

Lain lagi dengan yang disampaikan Muhammad Ali Fikri, ketua Harian PPTR (Paguyuban Petani Tebu Rakyat) PTPN XI. 

Menurut Fikri, perubahan harga yang begitu cepat ini, membuat konsumen waswas, sehingga ada yang melakukan aksi borong atau panic buying. 

"Kami bersama dengan teman-teman melakukan pengamatan terkait kenaikan harga gula tersebut. Bagaimanapun juga kenaikan harga ini tidak dinikmati para petani tebu. Mereka tetap saja dalam kondisi awal," katanya. Kenaikan harga tersebut, menurut dia, salah satunya disebabkan ulah spekulan nakal.

Dikatakan, harga gula semakin mahal karena lahan tebu semakin menyempit. Di Jawa Timur saja, kata dia, 10 ribu hektare lahan tebu sudah berubah menjadi lahan komoditas lain. 

Puluhan ribu hektare lahan yang berubah fungsi ini tersebar di beberapa wilayah, seperti Jember, Bondowoso, Lumajang, Situbondo, Banyuwangi, Probolinggo, Madiun, dan Magetan. "Lebih banyak di wilayah kerja PTPN XI. Sedangkan di Jember sendiri ada 2.000 hektare lahan yang sudah ditanami komoditas lain," paparnya. 

Atas kondisi ini, menurut Fikri, jelas target produksi gula menurun. Dari target nasional produksi gula sebanyak 3,3 juta ton, saat ini hanya terpenuhi 2,7-2,8 juta ton. 

"Saat ini masih ada cadangan sekitar 200 ribu ton gula. Namun itu masih dalam bentuk bahan baku dan baru bisa diproduksi pada bulan September, Oktober, dan November," ujarnya.

Di samping itu, lanjut Fikri, naiknya harga gula dalam negeri ini juga dipengaruhi kenaikan harga gula dunia. Sampai saat ini harga gula internasional berada di atas USD 500/ton. Ini menyusul terjadinya gagal panen di beberapa negara produsen gula, seperti Brazil, India, dan Ecuador, karena pengaruh elnino. 

"Pada tahun ini, mereka sudah tidak memiliki banyak stok gula," tegasnya. Meski begitu, kondisi ini diperkirakan tidak terlalu lama terjadi. "Akan membaik tahun depan. Namun untuk saat ini mereka mengalami gagal panen. Sehingga stok gula dunia juga ikut berkurang," tegasnya.

Fikri menambahkan, faktor lain yang ikut mempengaruhi harga gula adalah masuknya gula lokal ke industri makanan dan minuman (mamin). Seharusnya, industri mamin menggunakan gula rafinasi (raw sugar). 

"Karena bahan tersebut mahal, akhirnya menggunakan gula lokal," tegasnya. Akibatnya, persediaan gula lokal untuk konsumsi rumah tangga ikut berkurang. 

Fikri juga melihat, kenaikan harga juga dipengaruhi adanya permainan dari spekulan nakal yang memanfaatkan kondisi gula yang menipis. 

"Mereka melihat bahwa stok gula untuk nasional di tahun 2009 ini menipis. Akhirnya melakukan pembelian besar-besaran. Kemudian menimbun dan menjual di saat yang sudah ditentukan. Karena stok terus menipis, mereka bisa menjual dengan harga tinggi," ungkapnya. 

Fikri mengungkapkan, dengan naiknya harga gula di konsumen, petani tebu tidak merasakan imbasnya. Ini mengingat, harga gula tebu petani sudah memiliki HPP (harga pokok pemerintah). 

"Pemerintah menetapkan harga Rp 5.350/kg," ujarnya. Dengan harga HPP Rp 5.350/kg, diharapkan harga di tingkat konsumen hanya kisaran Rp 7 ribu/kg. 

Sayang, tampaknya hal itu tidak sesuai dengan rencana. Buktinya harga gula semakin melambung mencapai Rp 9.500/kg. Padahal, dalam lelang terakhir telah disepakati harga gula mencapai Rp 8.375/kg di pasaran. (wnp/rid)

Sumber :

http://www.jawapos.com/radar/index.php?act=detail&rid=111115