Sorgum Diminati Banyak Negara
”BERTANI sorgum cocok bagi mereka yang malas, tapi ingin cepat kaya. Cukup sekali tanam, bisa panen seumur hidup,” demikian tandas Dedi A. R. Natadiredja (45), seorang petani sorgum dari Ciwidey Kab. Bandung.
Perjalanan hidup Dedi hingga menjadi seorang petani sukses berkat binaan Batan, tidak mudah. Awalnya ia hanyalah seorang petani biasa. Mulai bertani padi, sayuran, buah-buahan, dan lain-lain sudah ia coba, tapi hasilnya tetap minim.
Namun, Dedi pantang menyerah. Satu demi satu kantor Dinas Pertanian ia kunjungi untuk mencari solusi, tapi tidak ada yang menjanjikan. Hingga suatu waktu sebuah penyuluhan menjadi pintu bagi kesuksesan Dedi. Pada pertengahan tahun 1999, di desanya ada penyuluhan tentang pengendalian hama melalui teknologi nuklir.
Dedi kian penasaran. Demi keluarga, ia berjalan menyusuri jalanan di Kota Bandung. Kantor-kantor pemerintahan, hingga perguruan tinggi ia datangi untuk mencari tahu soal informasi tanaman dengan tenaga nuklir. ”Istilahnya mah, saya jalan kaki sampai sandal putus, dan sepatu tipis,” ucapnya.
Pada awal tahun 2000, ia sampai ke Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Teknik Nuklir BATAN di Jln. Tamansari No. 71 Bandung. ”Saya waktu itu bertemu dengan Pak Darsono. Beliau bilang, kedatangan saya sangat tepat karena BATAN akan mengadakan pelatihan mengenai pertanian berbasis teknologi nuklir,” kisah Dedi.
**
DALAM pelatihan itu, Batan menawarkan sebuah bibit padi hasil pemanfaatan teknologi nuklir. Bibit itu adalah varietas unggul padi yang dinamai Cilosari. Bibit itu akan menghasilkan secara maksimal bila ditanam di lahan dengan ketinggian maksimal 700 meter di atas permukaan laut (dpl).
Walau lahan tanam milik Dedi berada di ketinggian sekira 1.200 meter dpl, ia tetap saja mengambil tawaran tersebut. ”Saya waktu itu ditertawakan peserta lain, karena mereka mengatakan tidak mungkin bisa berhasil di lahan saya. Tapi, saya mah lempeng wae. Saya yakin bibit itu bisa membawa kemakmuran bagi saya sekeluarga,” tutur Dedi mengenang.
Benar saja, bibit itu sukses ditanamnya. Dari bibit seberat 21 kg, yang ditanam di lahan seluas 1 hektare, bisa menghasilkan padi 6,2 ton. ”Hebatnya lagi, saya memanennya setelah masa tanam 112 hari. Sementara padi lokal biasanya baru bisa dipanen sekira 7 bulan setelah ditanam. Dan itupun hanya 4 ton,” katanya.
Ia lalu menyampaikan hal itu kepada Mugiono, seorang yang turut menjadi pemulia bibit Cilosari di Puslitbang Batan. Mugiono seakan tidak percaya dengan kisah kesuksesan Dedi. Untuk membuktikannya, Mugiono bahkan datang langsung ke lahan pertanian Dedi di Ciwidey.
Sejak itulah, Dedi makin mantap bahwa melalui nuklir ia bisa sukses dalam pertanian. Ia lalu mendaftarkan diri sebagai mitra kerja Batan, pada tanggal 20 November 2000.
Baru pada tahun 2002, ia dikenalkan dengan bibit sorgum yang saat itu masih dalam tahap penelitian. Dedi tertarik untuk menanamnya. Sebanyak 250 gram bibit sorgum yang masih dalam galur murni, ia tanam di sepetak lahan kecil di halamannya. Hasilnya, dalam tempo kurang dari 4 bulan, bisa menghasilkan biji sorgum berkilo-kilo.
Terpukau panen yang diperoleh, ia lalu mengenalkan sorgum kepada kelompok ”Tani Mukti” di desanya. Puluhan petani yang tergabung dalam kelompok tani itu pun berminat untuk mencoba. Ia pun memberikan bibit sorgum kepada para petani. Dalam hitungan 4 bulan, para petani itu panen sorgum dengan total mencapai 5 kuintal.
Di saat itulah Dedi tersandung. Para petani binaannya itu mengeluh tentang pengolahan biji sorgum yang dipanen, bahkan terkesan kecewa. Para petani meminta ganti rugi kepada Dedi. ”Mereka bilang, tanaman itu hanya daun dan batangnya yang berguna untuk pakan ternak,” ujar Dedi.
Untuk membayar ganti rugi tersebut, Dedi terpaksa menjual mobil Daihatsu Ferozanya Rp 22 juta. Dan biji-biji sorgum itu disimpan di gudang. Tapi karena diletakkan begitu saja, sorgum itu pun dirusak oleh hama hingga menjadi seperti tepung.
Namun cobaan itu bukan halangan baginya untuk terus maju. Justru dari hama itulah ia mendapat jalan. Sorgum yang telah jadi tepung itu, diolah oleh Dedi bersama istrinya Ny. Yeti, menjadi sebuah penganan mirip dodol. ”Sebenarnya bisa juga dimasak seperti nasi. Tapi saya belum memiliki alat pengupas kulit biji sorgum,” katanya.
Yang lebih menakjubkan, ternyata kandungan gizi sorgum sangat tinggi. Dan itu ia buktikan sendiri. Penganan olahan dari tepung sorgum tersebut ia makan di pagi hari. ”Saya makan 3 potong sebesar lemper. Tapi anehnya hingga sore saya tetap kenyang. Baru makan lagi pukul 9 malam. Dari sana saya berkesimpulan bahwa sorgum ini memiliki kandungan gizi yang tinggi. Jadi satu porsi sorgum sama dengan 3 porsi besar nasi,” urai Dedi dengan semangat.
Dan memang, dari hasil kajian Puslitbang Batan, kandungan sorgum tak kalah dengan beras. Bahkan secara keseluruhan, kandungan nutrisi sorgum yang dalam bahasa latinnya Sorghum bicolor (l) moench itu, jauh lebih besar ketimbang beras.
Dari 8 nutrisi yang terkandung di sorgum dan beras, enam di antaranya diungguli oleh sorgum dengan selisih yang cukup besar. Kandungan protein, misalnya, dalam 100 gram sorgum terkandung 11 gram protein, sedangkan beras hanya 6,8 gram. Lalu kalsium, di sorgum 28 mg, dan di beras 6 mg.
**
BERANGKAT dari situlah, Dedi mulai serius bertani sorgum. Dari hasil eksplorasinya bersama sang istri, sorgum tidak hanya bijinya yang menghasilkan. Dedaknya bisa untuk pupuk organik. Daun dan batangnya untuk pakan ternak. Selain itu, hasil olahan lainnya ternyata bisa untuk bahan membuat cat, lem, dan masih banyak lagi.
Jerih payah Dedi mulai menampakkan hasil pada akhir tahun 2004. Pada sebuah pertemuan dengan Menteri Riset dan Teknologi Kusmayanto Kadiman, penganan olahan Dedi mendapat perhatian. Kusmayanto mencobanya dan langsung tertarik. Tidak hanya itu, dari Kusmayanto, penganan sorgum sampai ke Istana Negara, dan mendarat di lidah Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono. Tak dinyana, SBY pun menyukainya. Sorgum pun didaulat sebagai bahan pangan alternatif utama pengganti beras.
Pengalamannya dipresentasikan ke khalayak dunia pada Konferensi Ketahanan Pangan Internasional di Vietnam pada 27 November 2004 lalu. ”Sayang saat itu saya tidak bisa ikut karena ada lokakarya di Yogya. Yang mempresentasikan adalah Menristek dan Kepala Batan Dr. Soedyartomo Soentono,” ulasnya.
Dedi baru mempresentasikan sendiri saat Konferensi Sorgum Internasional di Cilegon pada 2-3 Desember 2004. Sejumlah negara tertarik, mulai dari Amerika Serikat, Jepang, Korea, India, Cina, dan masih banyak lagi.
Ia bahkan diajak bekerja sama oleh Petrokimia dan Taiwan dalam mengembangkan sorgum sebagai bahan dasar pupuk organik. ”Namun saya belum bisa menyanggupinya, karena memerlukan lahan yang luas,” tutur Dedi.
Kini ia dipercaya untuk menjalankan projek percontohan bertani sorgum oleh Jawa Barat. Untuk tahap awal, lahan seluas 425 hektare di Cijayana Pameungpeuk Garut, menjadi garapannya. Ia berharap, projek itu menjadi pintu gerbang kemakmuran para petani di dalam negeri. (EsGe/”PR”)
3 komentar:
dimana saya bisa mendapatkan benih sorghum-nya..?
Yahya
kalau sorgum bicolor atau sorgum hermada saya berminat di malainya. dibeli malai sorgum (batang pucuk) Rp 10.000,- / Kg. Grade A
Ass wr wb....mau minta no hp pak Dedi...rencana mau ke ciwidey.wass Ardianto (Batan)
Posting Komentar