........Selamat Hari Jadi Kab. Nunukan ke 13 tgl 12 Oktober 2012.......

Sabtu, 05 September 2009

Harga Gula Terus Meroket, Tertinggi dalam Sejarah

Harga Gula Terus Meroket,  Tertinggi dalam Sejarah

JEMBER - Harga gula di tingkat konsumen kian hari semakin tak terkendali. Tingkat kenaikan harga cukup tinggi dan terjadi secara cepat. Kemarin, harga gula sudah menembus angka kisaran Rp 9.400-9.500/kg. 

Tak pelak, masalah melonjaknya harga gula ini menjadi pembahasan serius pemerintah. Bahkan, pagi hingga sore kemarin, Menteri Perindustrian dan Perdagangan (Menperindag) melakukan pembahasan serius di Jakarta dengan melibatkan Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), Dewan Gula Indonesia (DGI), para Dirut PTP, Kementerian BUMN, Menkoekuin, dan PT RNI. 

"Kenaikan harga gula saat ini termasuk yang tertinggi dalam sejarah pergulaan Indonesia," ujar HM. Arum Sabil, ketua APTRI yang kemarin turut hadir dalam rapat membahas masalah melonjaknya harga gula.

Menurut Arum, harga gula tinggi karena persediaan gula tidak seimbang dibandingkan tingginya permintaan gula di pasaran. Selain itu, harga gula naik karena India sebagai pemasok gula mengalami gagal panen. Dampaknya, harga gula internasional naik. 

"Saat ini harga gula internasional mencapai 590 US dolar per ton. Bila dihitung, harga gula internasional sampai Indonesia sudah di atas Rp 8 ribu," ujarnya. Padahal sebelumnya, rata-rata harga gula internasional sampai Indonesia hanya kisaran Rp 6 ribu. "Bahkan bisa di bawah Rp 5.500," paparnya. 

Masih menurut Arum, kejadian ini tidak pernah terjadi sejak Indonesia merdeka. Bahkan, karena gagal panen, India justru mengimpor gula 6 juta ton. 

Terkait adanya spekulan yang bermain-main dengan kenaikan harga gula saat ini, Arum menjelaskan, hal itu kemungkinan kecil terjadi. Pasalnya, bila melihat jumlah stok gula nasional saat ini, tidak mungkin ada penimbunan gula. "Kita sudah melakukan investigasi bersama tim penyidik PNS dari perindustrian dan perdagangan," ujarnya. 

Dikatakan, stok gula nasional per 27 Agustus 2009, real masih 266.679 ton. "Stok tersebut masih mencukupi untuk kebutuhan satu bulan," ujarnya. Itu belum ditambah estimasi gula yang masih dalam proses produksi yang mencapai 862.484 ton. "Kalau ditambah yang belum digiling masih ada 762.828 ton. Ini hanya untuk wilayah Jawa," ujarnya. Arum mengestimasi, produksi gula nasional 2009 diperkirakan mencapai 2,9 juta ton. 

Terkait adanya industri makanan dan minuman yang selama ini menggunakan gula rafinasi berbahan raw sugar yang beralih ke gula lokal, hal itu justru perlu disambut baik. Kata Arum, itu menunjukkan, bila gula lokal ternyata bisa digunakan untuk bahan baku industri makanan dan minuman (mamin). "Selama ini industri makanan dan minuman beralasan impor gula dilakukan karena kualitas gula lokal dinilai tidak bagus untuk bahan baku industri mamin," ujarnya. Ternyata, ketika gula impor mahal, industri mamin beralih ke gula lokal. "Itu berarti, gula lokal sebenarnya bisa digunakan untuk industri mamin," paparnya

Dengan begitu, nantinya tidak ada alasan lagi bagi industri mamin untuk tidak menggunakan gula lokal ketika harga gula impor lebih murah. "Buktinya gula lokal juga bagus untuk bahan baku industri mamin," tegasnya.

Untuk itulah, sudah saatnya pemerintah lebih serius melakukan revitalisasi pabrik gula dan meningkatkan produksi demi swasembada gula. 

Arum menambahkan, bila mengacu tahun 2008, kenaikan harga gula memang cukup signifikan. Namun, melihat fakta di lapangan, kenaikan tersebut wajar terjadi karena harga gula internasional memang naik. "Namun jangan sampai kemudian pemerintah membuka kran impor sebesar-besarnya dengan memberlakukan tarif masuk nol persen," ujarnya. Sebab, bila hal itu dilakukan akan mematikan petani tebu di Indonesia. "Harapannya petani bisa happy, konsumen tidak diberatkan dengan harga gula yang tinggi," ujarnya.

Arum cemas, jika kondisi ini tidak terkontrol dan pemerintah mengeluarkan kebijakan panik, yang dirugikan justru petani. "Oleh karena itu, kami berharap semuanya bisa bersama-sama menciptakan iklim usaha yang kondusif. Petani happy, konsumen happy," ujarnya. 

Dengan kenaikan harga gula ini, kata Arum, petani sebenarnya bisa untung. Perkiraannya, biaya produksi petani paling tinggi mencapai Rp 6 ribu per kilogram. "Ini sudah royal," ujarnya. Sedangkan harga gula internasional sekitar Rp 8 ribu. "Jadi, harga gula impor masih tinggi dibandingkan harga gula petani. Dijual Rp 7 ribu saja, petani sudah untung," ujarnya. 

Lain lagi dengan yang disampaikan Muhammad Ali Fikri, ketua Harian PPTR (Paguyuban Petani Tebu Rakyat) PTPN XI. 

Menurut Fikri, perubahan harga yang begitu cepat ini, membuat konsumen waswas, sehingga ada yang melakukan aksi borong atau panic buying. 

"Kami bersama dengan teman-teman melakukan pengamatan terkait kenaikan harga gula tersebut. Bagaimanapun juga kenaikan harga ini tidak dinikmati para petani tebu. Mereka tetap saja dalam kondisi awal," katanya. Kenaikan harga tersebut, menurut dia, salah satunya disebabkan ulah spekulan nakal.

Dikatakan, harga gula semakin mahal karena lahan tebu semakin menyempit. Di Jawa Timur saja, kata dia, 10 ribu hektare lahan tebu sudah berubah menjadi lahan komoditas lain. 

Puluhan ribu hektare lahan yang berubah fungsi ini tersebar di beberapa wilayah, seperti Jember, Bondowoso, Lumajang, Situbondo, Banyuwangi, Probolinggo, Madiun, dan Magetan. "Lebih banyak di wilayah kerja PTPN XI. Sedangkan di Jember sendiri ada 2.000 hektare lahan yang sudah ditanami komoditas lain," paparnya. 

Atas kondisi ini, menurut Fikri, jelas target produksi gula menurun. Dari target nasional produksi gula sebanyak 3,3 juta ton, saat ini hanya terpenuhi 2,7-2,8 juta ton. 

"Saat ini masih ada cadangan sekitar 200 ribu ton gula. Namun itu masih dalam bentuk bahan baku dan baru bisa diproduksi pada bulan September, Oktober, dan November," ujarnya.

Di samping itu, lanjut Fikri, naiknya harga gula dalam negeri ini juga dipengaruhi kenaikan harga gula dunia. Sampai saat ini harga gula internasional berada di atas USD 500/ton. Ini menyusul terjadinya gagal panen di beberapa negara produsen gula, seperti Brazil, India, dan Ecuador, karena pengaruh elnino. 

"Pada tahun ini, mereka sudah tidak memiliki banyak stok gula," tegasnya. Meski begitu, kondisi ini diperkirakan tidak terlalu lama terjadi. "Akan membaik tahun depan. Namun untuk saat ini mereka mengalami gagal panen. Sehingga stok gula dunia juga ikut berkurang," tegasnya.

Fikri menambahkan, faktor lain yang ikut mempengaruhi harga gula adalah masuknya gula lokal ke industri makanan dan minuman (mamin). Seharusnya, industri mamin menggunakan gula rafinasi (raw sugar). 

"Karena bahan tersebut mahal, akhirnya menggunakan gula lokal," tegasnya. Akibatnya, persediaan gula lokal untuk konsumsi rumah tangga ikut berkurang. 

Fikri juga melihat, kenaikan harga juga dipengaruhi adanya permainan dari spekulan nakal yang memanfaatkan kondisi gula yang menipis. 

"Mereka melihat bahwa stok gula untuk nasional di tahun 2009 ini menipis. Akhirnya melakukan pembelian besar-besaran. Kemudian menimbun dan menjual di saat yang sudah ditentukan. Karena stok terus menipis, mereka bisa menjual dengan harga tinggi," ungkapnya. 

Fikri mengungkapkan, dengan naiknya harga gula di konsumen, petani tebu tidak merasakan imbasnya. Ini mengingat, harga gula tebu petani sudah memiliki HPP (harga pokok pemerintah). 

"Pemerintah menetapkan harga Rp 5.350/kg," ujarnya. Dengan harga HPP Rp 5.350/kg, diharapkan harga di tingkat konsumen hanya kisaran Rp 7 ribu/kg. 

Sayang, tampaknya hal itu tidak sesuai dengan rencana. Buktinya harga gula semakin melambung mencapai Rp 9.500/kg. Padahal, dalam lelang terakhir telah disepakati harga gula mencapai Rp 8.375/kg di pasaran. (wnp/rid)

Sumber :

http://www.jawapos.com/radar/index.php?act=detail&rid=111115

Tidak ada komentar: